Kepulauan Indonesia

Cerita dari, untuk dan tentang Kepulauan Indonesia beserta Penghuni dan Penduduknya

Archive for the ‘Hukum’ Category

NEGARA PARA KORUPTOR 7 (Resume di Awal Tahun 2011)

Posted by wahyuancol pada Januari8, 2011

Namanya Gayus Halomoan P. Tambunan. Umurnya 30 tahun. Ia hanya seorang Pegawai Negeri Golongan III-a di Direktorat Jenderal Pajak. Tugasnya hanya menjadi penelaah keberatan pajak perorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak. Di “Negara Para Koruptor” ini, pekerjaan itu membuat Gayus menjadi “sakti”. Ia menjadi salah satu pegawai negeri yang terkaya di negeri ini dengan tabungan Rp 25 milyar.

Jamaknya, gaji Pegawai Negeri Sipil golongan IIIA di Direktorat Pajak dengan masa jabatan 0 sampai 10 tahun adalah antara Rp 1.655.800 sampai Rp 1.869.300 per bulan. Kalaupun ada tambahan maka itu berupa tunjangan lain. Dengan memiliki tabungan sebesarRp 25 milyar tentu mengundang tanda tanya. Dari mana asal uang itu?

Kondisi Gayus itu mencuat ke permukaan ketika namanya disebut oleh mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal, Susno Duadji. Sejak itulah Drama Penjungkirbalikan Akal Sehat terjadi di negeri ini.

Apa yang terungkap dari balik drama itu tentang Negeri Para Koruptor ini? Simaklah editorial dari salah satu surat kabar di bawah ini.

—————————-

TIDAK ada lagi kata yang tepat untuk mengungkapkan kejengkelan kita terhadap kelakuan Gayus Tambunan. Dalam status ditahan, Gayus bebas berkeliaran di luar. Tidak cuma pelesiran ke Bali, tapi bisa bolak-balik ke luar negeri menggunakan nama palsu Sony Laksono.

Polisi disogok, hakim disumbat, jaksa disuap, dan terakhir keimigrasian dilumpuhkan.

Kehebatan Gayus melumpuhkan semua institusi penegak hukum di Tanah Air lahir dari kehadiran dia dalam lingkungan mafia pajak. Dengan uang berlimpah dari perannya ‘membantu’ urusan pajak korporasi, dia menjadi raja kecil. Bila si raja teri mampu memorak-porandakan benteng penegak hukum, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kemampuan raja-raja kakap.

Kemampuan raja-raja mafioso menyumbat mulut aparatur yang rakus dan mati rasa dengan uang, itulah yang menyebabkan para mafioso menciptakan kadernya di lingkungan birokrasi. Itulah yang menyebabkan krisis moralitas. Orang baik dan jujur dianggap berbahaya dan harus disingkirkan dengan berbagai cara.

Kalau benteng-benteng keadilan dan kebenaran sudah menjadi organisasi yang bertekuk lutut di hadapan mafioso, matilah penegakan hukum. Sirene bahaya seharusnya dibunyikan dengan lengking dan bertalu-talu.

Kasus Gayus yang amat memalukan haruslah pula dijadikan bukti untuk mengakui bahwa kejahatan, korupsi, dan kebohongan sudah melekat dalam perilaku birokrasi, khususnya lembaga penegak hukum. Argumen bahwa yang jahat itu orang bukan lembaga, semakin hari semakin terbantahkan.

Maaf kepada hakim, polisi, dan jaksa yang baik dan benar yang konon masih ada dan banyak. Tetapi kehebatan dan kejujuran kalian tidak cukup kuat untuk menjadi mainstream antikorupsi.

Kejengkelan terhadap tindakan Gayus hanyalah kejengkelan masyarakat madani. Yang menganggap negara ini dalam bahaya karena krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum hanya hidup dan bergejolak di luar lembaga pemerintahan.

Tidak ada sense of crisis yang meledak di kalangan birokrasi dan para pemangku kekuasaan melihat sepak terjang Gayus. Tidak seperti erupsi Merapi yang menyebabkan para pemimpin berebut kesempatan meneriakkan tanda bahaya. Tidak ada rapat kabinet darurat, misalnya, yang digelar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi kasus Gayus.

Presiden masih berbahasa standar. “Usut tuntas kasus Gayus.” Perintah yang terlalu datar untuk sebuah kasus yang teramat gawat. Kepolisian masih berkata standar juga. “Kami mengumpulkan fakta hukum, yang berkembang tidak secepat dan searah dengan opini dan nurani publik.”

Kendati belum cukup mengobati kerisauan publik, apa yang dilakukan Jaksa Agung Basrief Arif mencopot jaksa di Bojonegoro karena meloloskan joki untuk napi Kasiem memberi contoh tentang sense of crisis.

Kasus Gayus tidak boleh dipagar hanya pada soal jalan-jalan ke Bali dan luar negeri. Yang jauh lebih berbahaya bagi negara adalah kasus mafia pajak yang terbukti melumpuhkan seluruh harkat dan martabat Republik.

Publik jengkel dan mulai capek. Di tengah kehabisan kata-kata mengekspresikan kejengkelan, seorang seniman berteriak lantang tentang negeri para bedebah. Kita semua terbelalak!

—————————-

Melengkapi semua itu adalah kisah penukaran tahanan  dari Bojonegoro.

Di Bojonegoro, Kasiyem yang harus menjalani penjara tujuh bulan melumpuhkan integritas penegak hukum dengan amat murah, Rp32 juta. Dengan uang sebesar itu Kasiyem bisa meminta orang lain untuk menggantikannya masuk bui.

Inilah kisah Kasiyem yang saya sarikan dari Kantor Berita Antara.

Kasiyem (55) asal Desa Kalianyar, Kecamatan Kapas, Bojonegoro, Jawa Timur, adalah pedagang beras yang sering mengirimkan beras ke Bali.

Ia tertarik berdagang pupuk, karena berharap keuntungan lebih besar dibanding jika hanya menjual beras.

Dari berita di media massa, menurut dia, Bupati Bojonegoro Suyoto pernah menyatakan, pupuk luar boleh masuk ke Bojonegoro dan yang dilarang adalah membawa keluar pupuk dari Bojonegoro.

Saat terjadi kelangkaan pupuk, ia memanfaatkan kesempatan meskipun mengaku tidak memiliki Delivery Order (DO).

Dagang pupuk itu pun menyeretnya ke pengadilan pidana hingga ke tingkat kasasi.

Menghadapi keputusan MA, Kasiyem mengaku, tidak terima dan takut kalau harus menjalani hukuman penjara. Dia bilang pedagang pupuk seperti dirinya cukup banyak di Bojonegoro tapi hanya dia yang masuk penjara.

Lalu dicarilah seseorang yang bisa membantunya. Kasiyem akhirnya bertemulah dengan seorang pengacara bernama Hasnomo.

Kasiyem mengungkap, dalam perjanjian itu, Hasnomo sanggup menolong dirinya agar tidak masuk penjara dengan memberi imbalan uang Rp22 juta.”Bagaimana caranya saya tidak tahu,” ujarnya.

Diri mengaku menandatangani berita acara eksekusi di Kantor Kejaksaan Negeri Bojonegoro, tepatnya pada tanggal 27 Desember 2010.

Hanya saja, ketika di depan lapas, dirinya yang semobil dengan staf Kejari bojonegoro, Widodo Priyono, tidak masuk ke lapas. Sebab, Hasnomo sudah membawa joki napi Karni (51), warga Desa Leran, Kecamatan Kalitidu, yang memperoleh imbalan uang Rp10 juta dari Hasnomo.

Hasnomo menemukan Karni lewat seorang perantara yang bernama Angga.”Saya tahu itu keliru,” ucapnya.

Karnipun masuk sel di lapas, setelah menjalani registrasi, dengan cap jempol, buan tanda tangan.

Masuknya joki napi Karni tersebut, terungkap pada tanggal 31 Desember 2010, ketika ada seseorang yang menjenguk dan mengetahui Karni ternyata bukan Kasiyem.

Bila dengan ongkos semurah itu Kasiyem bisa memperoleh sembah sujud hukum, bagaimana hukum tidak bertekuk lutut kepada mereka yang beruang banyak dan juga berkuasa?

——————————

Itulah gambaran mutakhir tentang negeri kepulauan ini di awal Tahun 2011. Kesimpulan tentang semua itu saya serahkan kepada sidang hadirin pembaca untuk menariknya.

Semoga bermanfaat.

Salam,

Wahyu

Posted in Ah... Indonesia ku, Hukum, HUMANIORA, Korupsi, Kualitas Bangsa | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , | Leave a Comment »

Negara Orang Buta

Posted by wahyuancol pada April30, 2010

Percayakah anda bila ada orang buta mengaku sebagai pengedar ganja?

Apabila yang buta itu seorang pengedar ganja yang kaya dan berkuasa dan punya banyak kaki tangan sebelum dia buta, mungkin benar dan kita bisa percaya. Tetapi, bila yang buta itu adalah suami istri yang tak berpunya dan sang suami hanya seorang tukang pijat, maka kita perlu menjungkir-balikkan logika dahulu atau membutakan mata hati baru bisa mempercayainya.

Nah, logika jungkir balik itulah yang terjadi di Medan (Indonesia). Penegak hukum “buta” yang mengadili orang buta. Dan kita, hanya diam saja karena buta. Mungkin memang, Indonesia kita ini adalah negara orang buta.

Berikut ini adalah kisah orang-orang buta itu [dikutip dari alamat: http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/hukum/10/04/30/113820-menkumham-geram-suami-istri-buta-dipenjara-belasan-tahun%5D:

————————-

Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, menemukan adanya seorang wanita tuna netra yang menjadi narapidana 15 tahun karena dituduh sebagai pengedar ganja. Hal itu ditemukan Menkumham saat melakukan Kunjungan Kerja ke Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Medan, Sumatera Utara, Jumat. Mendapatkan temuan itu, Patrialis Akbar geram dan langsung melaporkan ke staf ahli presiden. “Saya sudah melaporkan ke presiden atas temuan ini,” kata Patrialis yang tidak bisa menahan rasa geram atas temuan itu.

Narapidana tersebut bernama Warsiam (50) yang sehari-hari bekerja sebagai tukang pijat di rumahnya Kampung Sidorukun, Jalan Baru, Bila Hulu, Labuhan Batu. Bahkan suaminya yang sama-sama tuna netra, M Nuh (46) divonis 18 tahun penjara, hingga ketiga anaknya saat ini telantar.

Menkumham mempertanyakan bagaimana mungkin seseorang yang tuna netra dituduh menjadi pemilik ganja.
“Dia sendiri buta, jadi bagaimana tahu bahwa itu adalah ganja,” katanya.

Karena itu, dirinya akan melaporkan temuan itu ke Kapolri dan Kejaksaan Agung serta ke Mahkamah Agung (MA). “Pihak polri sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntut, dan MA sebagai yang menjatuhkan vonis,” katanya.

Menkumham juga akan meminta MA untuk mengabulkan grasi terhadap kedua narapidana itu. “Saya akan minta supaya mereka dibebaskan,” katanya.

Warsiam mengaku dirinya tidak mengetahui adanya barang terlarang itu pada Juni 2007. “Saya sama sekali tidak tahu yang namanya ganja,” katanya.

Peristiwa penggerebekan terjadi pada dinihari seusai dirinya melayani tamu untuk dipijat. Kemudian petugas Polsek Aek Batu, Labuhan Batu, Sumut, menggerebek rumahnya hingga dirinya disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Rantau Prapat.

Di pengadilan M Nuh divonis 18 tahun penjara dan Warsiam 15 tahun penjara. Dirinya sempat ditahan di LP Rantau Prapat selama tiga tahun yang kemudian dipindahkan ke LP Wanita Kelas II A Medan pada Rabu (28/4).

———————–

Itulah Indonesia.

Salam dari Ancol,

Wahyu

Posted in Ah... Indonesia ku, Hukum, HUMANIORA, Kualitas Bangsa | Dengan kaitkata: , , | 2 Comments »

Logika Jaksa di Negara Para Koruptor

Posted by wahyuancol pada April13, 2010

Berikut ini adalah kutipan berita dari Detik.com tentang logika jaksa. Orang yang tidak pernah belajar logika pun tahu bahwa logika jaksa itu tidak benar.

——–

Chairul Saleh, pemulung yang direkayasa memiliki ganja dituntut1 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Apa logikanya sehingga berani menuntut setahun penjara meski jaksa tak bisa mengungkap siapa penangkap Saleh?

“Jaksa hanya berkeyakinan, di situ ada ganja. Di situ ada Saleh. Maka jaksa menyimpulkan jika Saleh pemilik ganja,” kata pengacara terdakwa, Raja Nasution, usai persidangan di PN Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Senin, (12/4/2010).

Logika jaksa ini mirip logika yang dipakai Jaksa Agung, Hendarman Supanji di depan anggota DPR terkait kasus cicak vs buaya beberapa waktu lalu. Di depan anggota Komisi III, dia menganalogi jika ada laki-laki dan perempuan bertemu di sebuah kamar hotel. Maka, bisa dipastikkan orang tersebut melakukan hubungan suami istri. Tanpa perlu membuktikan, bisa dipastikan ada tindak suami istri.

“Ini kan sama. Di bantaran rel ada Saleh, di situ ada ganja. Maka Saleh dianggap pemilik ganja,” paparnya.

Jika logika ini yang dipakai, maka sama saja dengan ancaman terhadap rakyat Indonesia. Karena setiap orang yang ada di dekat pemilik narkoba bisa dituduh sebagai pemilik juga. “Harusnya jaksa kan membuktikan, itu ganja punya siapa. Ini kan tidak,” tambahnya.

[http://www.detiknews.com/read/2010/04/12/223303/1337008/10/inilah-logika-jaksa-menuntut-1-tahun-penjara?881103605]

—————————-

Menurut logika normal, kedekatan fisik seseorang dengan suatu barang pada suatu waktu tidak membuktikan bahwa barang tersebut milik orang itu. Misalnya, anda berada di dekat sebuah mobil yang sedang parkir di tepi jalan. Hal itu belum bisa membuktikan bahwa anda pemilik mobil itu kan.

Salam,

Wahyu

Posted in Ah... Indonesia ku, Hukum, HUMANIORA | Dengan kaitkata: , , | Leave a Comment »

Kisah Nenek Minah dan Tiga Buah Coklat 02

Posted by wahyuancol pada November19, 2009

Setelah menjalani proses hukum yang melelahkan, nenek Minah (55) warga Dusun Sidoharjo Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas, akhirnya bisa pulang ke rumahnya tanpa harus menjalani pengapnya sel penjara. Majelis hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang menyidangkan perkaranya, Kamis (19/11), memang memutuskan Minah terbukti bersalah melakukan pencurian 3 butir buah kakao dan diputus hukuman 1 bulan 15 hari penjara.

Namun dalam putusan itu juga disebutkan, Minah tidak perlu menjalani hukuman tersebut, kecuali bila selama 3 bulan masa percobaan, nenek Minah kembali tersangkut masalah pidana. Bila hal ini terjadi, maka yang bersangkutan wajib menjalani hukuman 1 bulan 15 hari tersebut. Selain itu, Nenek Minah juga hanya diminta membayar ongkos perkara sebesar Rp 1.000.

Persidangan nenek dari tujuh orang anak dan belasan cucu ini, mengundang banyak perhatian masyarakat. Berbagai kalangan LSM di Banyumas, seperti dari Yayasan Babat, Lembaga Pengembangan dan Penelitian Sumber Daya Tanah dan Lingkungan Hidup (LPPSDTLH), Rumah Aspirasi Budiman, Paguyuban Petani Banyumas (PPB) dan Petisi 28.

Setelah sidang ditutup, warga yang memadati ruang sidang tersebut pun sontak bertepuk tangan. Nenek Minah yang diminta berdiri mendengar putusan tersebut, terlihat melontarkan senyum bersahaja. ”Ibu Minah bisa memahami keputusan ini?” tanya Ketua Majelis Hakim Muslich Bambang Luqnowo yang membaca putusan itu. Nenek Minah pun menjawab, ”Nggih, pak hakim. Matur nuwun,” jawabnya.

Dengan kesederhanaannya, Nenek Minah pun langsung keluar ruang sidang begitu sidang ditutup hendak langsung menumpang kendaraan umum untuk pulang ke rumahnya di Desa Darmakradenan yang berjarak sekitar 40 kilometer dari gedung pengadilan. Dia lupa tidak bersalaman dengan dengan para hakim dan jaksa di ruang sidang.

Namun sebelum sempat keluar dari komplek pengadilan, langkahnya dihadang oleh para aktivis LSM yang memberikan ucapan selamat. Bahkan salah seorang aktivis menyerahkan uang yang dikumpulkan dari para pengunjung sidang. ”Niki ngge sangu kondur, mbah (Ini buat bekal pulang, mbah),” kata seorang aktivis LSM tersebut.

Begitu sidang ditutup, beberapa LSM memang langsung mengedarkan kardus untuk diisi sumbangan dari para pengunjung. Tak terkecuali, para hakim yang baru menyidangkan perkara nenek Minah itu, juga ikut menyumbang. Hasil sumbangan ini yang kemudian diserahkan pada nenek Minah.

Sidang kemarin,dilakukan secara maraton dengan agenda tiga materi sekaligus. Mulai pembacaan tuntutan, pledoi atau pembelaan, hingga pembacaan putusan. Pembacaan tuntuan dan pledoi, dilakukan sekaligus tanpa ada jeda waktu. Sedangkan pembacaan putusan, dilakukan setelah majelis hakim menskors sidang setelah penyampaian pledoi.

Dalam tuntutan yang dibacakan di depan sidang, Jaksa Noorhaniyah sebenarnya menuntut hukuman enam bulan penjara. Hal ini karena jaksa menilai, nenek Minah terbukti telah melakukan pencurian 3 butir buah kakao milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) 4 yang ada di Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang.

Sedangkan dalam pledoinya, Nenek Minah yang tak didampingi pengacara, tidak mengajukan argumen pembelaan apa pun. Dia bahkan mengaku bersalah karena telah memetik buah kakao milik PT RSA, namun menurutnya buah kakao itu sudah diambil oleh mandornya, Tarno dan Rajiwan. Nenek Minah hanya minta tidak dihukum penjara, karena dia sudah tua.

Saat membacakan putusan, Ketua Majelis Hakim Muslich Bambang Luqmono yang didampingi dua hakim anggota Dedy Hermawan dan Sohe, sempat tidak bisa menahan isak tangis saat membacakan berkas putusan. ”Saya juga dari keluarga petani. Ibu saya juga petani. Saya tidak bisa membayangkan kalau ibu saya yang menghadapi sidang semacam ini hanya gara-gara tiga butir buah kakao seharga Rp 500,” kata hakim Bambang, saat ditanya wartawan seusai sidang.

Dalam pertimbangan putusannya, majelis hakim menilai bahwa kasus Minah menjadi menarik perhatian masyarakat karena menyentuh sisi kemanusiaan, melukai rasa keadilan karena dimejahijaukan gara-gara tiga butir buah kakao. Majelis hakim menilai, polisi, jaksa dan hakim, mestinya bisa melihat dampak yang ditimbulkan dari perbuatan pelaku. Kalau dampaknya tak terlalu merugikan masyarakat secara luas, termasuk korban sendiri, mestinya bisa ditangani dengan pendekatan lain dulu sehingga tidak semua diproses pidana.

Selain itu, selama proses persidangan berlangsung, tidak ditemui hal-hal yang memberatkan pada Nenek Minah. Sementara yang meringankan, terdakwa Minah sudah lanjut usia, terdakwa Minah adalah petani tua yang tidak punya apa-apa, selalu menghadiri persidangan tepat waktu meski harus tertatih-tatih karena sudah tua dan rumahnya jauh, bahkan proses hukum yang telah dijalani terdakwa Minah telah membuatnya letih jiwa raga, serta menguras tenaga dan harta bendanya. Mejelis hakim menyebutkan, semua yang dialami terdakwa Minah tersebut, sudah cukup menjadi hukuman bagi dirinya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah, majelis hakim menjatuhkan hukuman 1 bulan 15 hari tanpa perlu dijalani Nenek Minah, dan membayar biaya perkara senilai Rp 1.000. Terhadap putusan tersebut, jaksa Noorhaniyah menyatakan pikir-pikir untuk mengajukan banding.

Ditanya soal pendapatnya mengenai kasus Nenek Minah, hakim Muslich Bambang Luqnowo menyatakan, kasus seperti ini mestinya tak perlu sampai disidangkan pengadilan. Mestinya bisa diselesaikan lebih secara kekeluargaan. ”Saya kira akan lebih efektif bila diselesaikan dengan baik-baik secara kekeluargaan. Kita sendiri, sebagai lembaga pengadilan, tidak bisa menolak menyidangkan perkaranya, karena kita setelah menerima berkas perkara, mau tidak mau harus menyidangkan perkara ini,” katanya.

Sedangkan Jaksa Noorhaniyah ketika dikonfirmasi, juga menyatakan pihaknya tak bisa mengentikan kasus ini karena berkas-berkas perkara yang dilimpahkan dari kepolisian sudah lengkap. ”Kejaksaan tak bisa mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), karena seluruh berkas dan buktinya sudah lengkap. Kita hanya bisa mengeluarkan SP3 bila berkasnya tidak lengkap atau barang buktinya kurang,” katanya.

Meski demikian, kalangan LSM yang menghadiri persidangan tak bisa menyembunyikan kegeramannya terhadap PT Rumpun Sari Antan di Desa Darmakradenan. Menurutnya, perusahaan perkebunan itu mestinya justru memberdayakan petani yang ada disekitarnya, bukan malah mengkriminalisasi petani. ”Apalagi, lahan yang digunakan sebagai areal perkebunan PT RSA adalah lahan yang masih disengketakan kepemilikannya oleh para petani,” kata Widoro, dari LSM Babat.

—————-

Demikian kisah tentang Nenek Minah.

Semoga bermanfaat.

Salam,

Wahyu Budi Setyawan

Judul Asli: Hakim Tersedu-sedu Bacakan Putusan Nenek Minah

Oleh: Republika Newsroom

Kamis, 19 November 2009 pukul 14:51:00

http://www.republika.co.id/berita/90390/Hakim_Tersedu_sedu_Bacakan_Putusan_Nenek_Minah

Akses: 19 Nopember 2009

Dikutip dengan sedikit editing yang tidak merubah substansi.

Posted in Ah... Indonesia ku, Hukum, HUMANIORA | Dengan kaitkata: , , , | 3 Comments »

Kisah Nenek Minah dan Tiga Buah Coklat 01

Posted by wahyuancol pada November19, 2009

Musim panen kedelai telah tiba. Ny Minah (55 tahun), seorang nenek renta, pun ikut memanen di lahan garapannya di Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah, 2 Agustus lalu. Lahan yang dia garap kebetulan sedang dikelola oleh PT Rumpun Sari Antan (RSA) untuk tanaman kakao (coklat).

Ketika sedang memanen kedelai, dia melihat ada tiga buah kakao yang sudah ranum berwarna kuning kemerah-merahan. Melihat buah itu, Minah tertarik untuk memetiknya dengan niat bijinya akan ditanam kembali di kebun miliknya. Maka dipetiknyalah buah itu. Setelah dipetik, diletakkan ketiga buah itu di bawah pohon kakaonya, dan kemudian ia melanjutkan pekerjaannya memanen kedelai.

Tindakan nenek dengan tujuh anak dan belasan cucu itu ‘tertangkap basah’ dua mandor perkebunan PT RSA, Tarno dan Rajiwan. Melihat tiga buah kakao tergeletak di atas tanah, Tarno kemudian bertanya kepada Minah yang saat itu sedang memanen kedelai sendirian. ”Yang memetik buah kakao ini siapa?” kata Tarno, ditirukan Minah.

Minah spontan menjawab, ”Saya.”

Tarno kembali bertanya, ”Buah itu akan digunakan untuk apa?”

Minah yang dikenal sebagai Ny Sanrusdi itu pun menjawab, bijinya akan disemai kemudian setelah tumbuh akan ditanam di kebunnya.

Mendapat jawaban itu, Tarno kemudian menceramahi Minah supaya tidak mencuri lagi.

Minah, yang sudah mengenal Tarno, langsung minta maaf.

”Ya sudah, Mas, saya minta maaf kalau dianggap telah mencuri. Kalau begitu, buah kakaonya dibawa saja, Mas,” balas Minah.

Kedua mandor itu pun pergi dengan membawa tiga buah kakao yang dipetik Minah tadi.

Sepekan kemudian, Minah tiba-tiba mendapat panggilan pemeriksaan dari Polsek Ajibarang. ”Di kantor polisi ini, saya diperiksa macam-macam yang intinya dituduh mencuri kakao milik perkebunan PT RSA,” katanya.

Ketika kali terakhir diperiksa, Minah membubuhkan cap jempol tangan pada BAP (Berkas Acara Pemeriksaan)-nya, karena dia tidak bisa tanda-tangan. ”Saya tidak tahu tulisannya apa, kan saya buta huruf. Tadinya disuruh tanda tangan saja. Tapi, karena tidak bisa tanda tangan, ya pake cap jempol,” katanya.

Selanjutnya, Minah harus menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Negeri Purwokerto. ”Di kejaksaan, saya juga beberapa kali diperiksa. Bu jaksa yang memeriksa saya, meminta saya tidak usah membantah agar prosesnya cepat. Kulo nggih manut mawon, wong kepingin persoalane cepat rampung (saya ya mengikuti saja biar persoalan cepat selesai),” katanya.

Dari kejaksaan, proses hukumnya berlanjut ke pengadilan yang disidangkan dengan Ketua Majelis Hakim Muslich Bambang Purnomo, dibantu Dedy Hermawan dan Socheh. JPU-nya adalah Noorhaniyah.

Minah disidang tanpa didampingi pengacara. Humas PN Purwokerto, Sudira, mengatakan, dalam perkara yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun, terdakwa memang tidak wajib didampingi penasihat hukum. ”Tapi di awal persidangan, terdakwa pasti ditawari majelis hakim apakah ingin didampingi pengacara atau tidak. Mungkin karena yang bersangkutan tidak ingin didampingi pengacara, maka kami tidak menyediakan pengacara,” kata Sudira.

Soal pengacara ini, Minah malah balik bertanya. ”Pengacara niku nopo, Mas? Wah, kulo leres mboten ngertos nopo-nopo bab niku (pengacara itu apa, Mas? Wah, saya tidak tahu apa-apa soal itu),” tuturnya, lugu.

Minah pun dikenakan tahanan rumah selama masa pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan, hingga menjalani persidangan dari tanggal 13 Oktober sampai 1 November. Ia tidak pernah satu malam menjalani masa tahanan, yang kini status tahanan itu sudah selesai, karena tak ada perpanjangan lagi.

Namun demikian, Minah mengaku sangat lelah berurusan dengan polisi, jaksa, dan pengadilan. ”Saya harus bolak-balik dari rumah ke kantor jaksa dan pengadilan yang jaraknya sampai 40 km,” keluhnya.

Lantas bagaimana kalau hakim nantinya menjatuhi hukuman penjara? ”Wah, dipenjara, Mas? Jangan, Mas. Jangan pokoknya,” kata Minah dengan wajah cemas. Tampaknya, Minah belum menyadari dengan dakwaan tersebut, maka dia harus berpisah dengan anak dan cucunya karena mendekam di penjara maksimal enam bulan.

Ahmad Firdaus, anak sulung Minah, berharap dalam persidangan yang menghadirkan ibunya sebagai terdakwa, para penegak hukum menggunakan hati nurani. Menurutnya, sistem hukum di Indonesia memang tidak memiliki hati nurani, meski dia berharap ada keajaiban.

”Ibu saya sudah tua, bahkan gara-gara persoalan ini, ibu saya jadi sering sakit-sakitan. Untuk itu, saya berharap majelis hakim yang menyidangkan ibu saya bisa bersikap bijaksana. Kalau memang ibu saya disebut telah mencuri, barang yang dicuri nilainya tidak seberapa, dan sebenarnya sudah diambil pemiliknya lagi,” Ahmad memohon.

Hingga kemarin, kasus yang menjerat nenek buta huruf itu sudah masuk ke Pengadilan Negeri Purwokerto. Bahkan, kasusnya sudah disidang dua kali, setiap Kamis. Dan pada Kamis (18/11) ini, sidang kasus Minah akan kembali digelar dengan agenda pembacaan pledoi sekaligus pengambilan putusan oleh majelis hakim.

Dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Noorhaniyah dari Kejaksaan Negeri Purwokerto, Minah didakwa telah melakukan tindak pidana seperti diatur dalam Pasal 362 KUHP. Yakni, telah dengan sengaja mengambil barang milik orang lain untuk dimiliki sendiri. Berdasarkan pasal itu pula, Minah diancam dengan hukuman enam bulan penjara.

Yang menarik, dalam surat dakwaan yang salinannya disimpan Ny Minah, buah kakao yang dicurinya disebutkan seberat 3 kg sehingga menimbulkan kerugian bagi PT RSA sebesar Rp 30 ribu.

Jika dijual di pasaran, harga tiga biji kakao basah yang diambil Minah itu hanya Rp 2.100. ”Yang dipetik ibu saya, hanya 3 buah kakao. Kalau diambil bijinya, paling tidak sampai setengah kilogram kakao basah. Kalau dihitung harganya, kakao yang dipetik ibu saya paling sebesar Rp 500 per biji. Tapi, hanya gara-gara kakao sebanyak itu, ibu saya diancam dengan hukuman enam bulan penjara,” kata Ahmad Firdaus, anak sulung Minah.

Memang, harga biji kakao di pasaran selalu fluktuatif. Saat ini, harga biji kakao kering naik mencapai Rp 17 ribu per kg. Bila dalam kondisi basah, hanya laku Rp 3.500 per kg. Namun, ketika Minah memetik buah kakao milik PT RSA pada bulan Agustus lalu, harga biji kakao kering sedang anjlok, hanya dihargai Rp 7.000 per kg. Bila dalam kondisi basah, cuma laku Rp 1.500 per kg.

————————-

Bersambung

Judul Asli: Tragedi Hukum nenek Minah

Oleh: Eko Widiyanto

Kamis, 19 November 2009 pukul 07:31:00

http://www.republika.co.id/koran/14/90256/Tragedi_Hukum_Nenek_Minah

Akses 19 Nopember 2009

Dikutip dengan sedikit editing yang tidak merubah substansi.

Posted in Ah... Indonesia ku, Hukum, HUMANIORA | Dengan kaitkata: , , , | 1 Comment »