Kepulauan Indonesia

Cerita dari, untuk dan tentang Kepulauan Indonesia beserta Penghuni dan Penduduknya

BABO (1935-1942): kota minyak yang hilang di Papua

Posted by wahyuancol pada Februari7, 2009

Ini kisah tentang kemunculan dan kepunahan peradaban minyak di Babo, Papua Barat, antara tahun 1935 sampai 1942.

———————

Pada tahun 1991 ketika rombongan penelitian dari LIPI melakukan penelitian di Teluk Bintuni dan Teluk Berau dengan kapal penelitian Rd. Soerya Atmadja, saya dan rombongan berkesempatan mampir ke Babo. Kami berangkat dari Ambon dan Sorong adalah tempat transit sebelum memasuki Teluk Bintuni. Dari sudut pandang ilmu kelautan, Teluk Bintuni dan Berau terkenal sebagai kawasan mangrove dan daerah penangkapan udang, dan karena alasan itulah kami melakukan penelitian ke sana.

Mendarat di Babo, saya menemukan penduduk yang ramah dan menerima kedatangan kami. Bahkan ketika kami berangkat dari Babo menuju Fak-fak, ada penduduk yang ikut menumpang kapal kami sampai di Fak-fak karena ia ingin mengunjungi saudaranya di sana. Kawasan pemukiman di Babo cukup baik dan teratur meskipun rumah non-permanen, pekarangannya luas. Secara umum lahan pemukiman tampak rata mengesankan adanya campur tangan manusia. Apa yang saya temukan itu jauh sekali berbeda dengan apa yang kami bayangkan ketika akan berangkat dari Ambon.

Ketika mampir ke rumah salah seorang penduduk, saya informasi tentang bekas lapangan terbang. Ketika itu saya berpikir: “Itu peninggalan dari Perang Dunia II.” Ternyata kemudian bahwa apa yang pernah ada di Babo tidak sesederhana pikiran saya itu. Saya mengetahuinya setelah membaca tulisan seorang rekan tentang peradaban perminyakan yang pernah ada di Babo. Atas izinnya, tulisan itu sekarang saya hadirkan di sini.

Selamat menikmati, dan semoga bermanfaat.

Terima kasih untuk Awang Harun Satyana yang telah mengizinkan saya mempublikasikan tulisan ini.

Salam,

Wahyu

————————–

Dua puluh tahun yang lalu, Juni 1988, di tengah saya libur setahun dari kuliah, saya berada di Jajayapura, bekerja selama dua minggu memilih-milih laporan Belanda, memotokopinya, dan menerjemahkannya untuk sebuah perusahaan emas asal Australia. Pada saat itulah saya menemukan buku-buku lapangan asli beberapa geologist Belanda yang pernah bekerja di Papua, yang namanya selama itu hanya saya baca dari buku van Bemmelen (1949), antara lain Molengraaff. Saya pun menemukan beberapa laporan NNGPM tentang awal eksplorasi perminyakan di wilayah Papua.

Jayapura, Juni 1988 adalah sebuah kota yang mahal dan tetap terpencil. Ongkos fotokopi Rp 75 selembar (saat itu di Bandung fotokopi Rp 15-Rp 20). Koran Kompas datang terlambat 3-4 hari. Harian lokal, Cenderawasih, terbit seminggu sekali. Beberapa tabloid yang terbit di Jakarta terlambat satu-dua minggu di sini. Di kota, para pedagang makanan adalah dominan orang2 Bugis : ikan bakar. Satu restoran Padang ada. Sementara itu, penduduk aslinya hanya menggelar tikar 1×1 meter berjualan kapur, sirih, dan buah matoa, itu saja. Malam minggu, hotel tempat saya menginap penuh dengan penduduk asli ini (para pegawai kantor), mereka membelanjakan gajinya untuk minum-minum bir dan membeli porkas (jenis lotere yang populer saat itu). Minggu paginya, saya menemukan mereka bergelimpangan di pinggir jalan – pulas tertidur. Di ujung jalan, saya melihat dua orang dari mereka sedang berkejaran, yang mengejar membawa pecahan botol sambil berteriak “Kubunuh kau…!”. Hm..masih mabuk rupanya. -demikian sepenggal paragraf buku harian saya.

Belum lama ini saya membuka kembali catatan2 saya itu. Sebagian saya ingin menceritakannya di bawah ini. Semoga menjadi variasi bacaan dari tulisan2 saya.

—————

Ini kisah lama, sekitar 75 tahun yang lalu, mungkin masih menarik untuk diketahui lebih luas sebab selama ini hanya tersimpan di buku-buku lama, yang sulit terbuka untuk umum. Ini kisah eksplorasi minyak di Papua, pulau terakhir yang dieksplorasi Belanda di Indonesia.

Tahun 1935, NNGPM (the Nederlandsche Nieuw-Guinee Petroleum Maatschappij) mulai mengeksplorasi bagian barat Papua (Vogel Kop – Bird’s Head, alias Kepala Burung) seluas 10 juta hektar. Pulau besar ini belum pernah dipetakan, peta yang ada hanya peta topografi kasar dalam rangka patroli militer. Maka tim besar di bawah pimpinan Dr A.H. Colijn, manajer eksplorasi dari Tarakan, mulai melakukan perkerjaan raksasa memetakan geologi Papua. Dengan berbagai pertimbangan, NNGPM memilih Babo di Teluk Berau sebagai basecamp. Pekerjaan pemetaan di area yang sangat luas ini dilakukan pertama kali menggunakan pesawat terbang. Pesawat amfibi Sikorski yang bisa mendarat di air ditugaskan untuk pekerjaan ini. Para pilot pesawat ini mesti pandai-pandai membaca cuaca yang sering berkabut dan berubah di atas Papua, mereka pun mesti pandai bermanuver di antara celah-celah tebing batuan gamping di beberapa pegunungan Papua. Dari ketinggian 12.000 kaki, beberapa formasi geologi bisa diketahui. Ini adalah pekerjaan awal –semacam reconnaissance survey.

Pekerjaan selanjutnya, yang jauh lebih menantang adalah ground survey. Torehan banyak sungai di Papua menolong para geologists Belanda memetakan geologi wilayah besar ini. Para kru lapangan semuanya adalah suku2 dari banyak wilayah di Indonesia : Dayak, Manado, Ambon, Jawa, Batak, dan Banda. Suku Papua sendiri kelihatannya tak ada sebab pada zaman itu diceritakan bahwa mereka masih merupakan suku pengayau alias pemenggal kepala yang diceritakan tentara Inggris di perbatasan PNG-Papua sebagai suku pelintas batas yang suka mengejar musuhnya melewati garis batas demarkasi. Para geologists yang memetakan geologi Papua memilih camp-nya di perahu, ini jauh lebih nyaman daripada di dalam hutan yang sangat lebat. Setiap perahu dilengkapi dengan: listrik dari genset, radio, kulkas, lampu2, dan bak mandi untuk berendam dengan cukup nyaman. Mandi harus di atas perahu sebab bila mandi di sungai akan menjadi santapan ramai-ramai para buaya. Detasemen militer tentu selalu berjaga mengawal para geologists dan kru-nya ini, maklum mereka berada di wilayah yang alam dan penduduknya dinilai tidak ramah.

Lama-kelamaan, bumi Papua pun mulai terpetakan dan terbuka. Beberapa wilayah telah dibuka untuk dibangun jalan, dan bahkan beberapa sumur pertama telah dibor: Wasian, Klamono, Jef Lio, Kasim. Pemukiman2 para pendatang mulai meramaikan bagian barat Papua, perahu2 kecil yang pada awalnya kecil telah menjadi kapal-kapal besar bermotor dengan nama : Jan Carstenz, Soedoe, Moeara, Boelian, Minjak Tanah, dan Casuaris. Desa Papua Babo, di sebuah pulau  delta kecil Sianiri Besar, tetap dipilih sebagai base. Ini karena posisinya yang berada di tengah di antara wilayah eksplorasi NNGPM. Sungai di depannya, Sungai Kasira, juga cukup dalam untuk kapal-kapal besar berlabuh. Meskipun deltanya tentu saja berawa-rawa, tetapi Babo base terletak diatas bukit berkerikil setinggi 30 kaki dan masih aman dari pasang naik di sekitarnya. Di bukit ini kantor NNGPM dibangun, juga pemukiman para pekerjanya. Dan di sekitar Babo ada ruang luas yang telah dibuka tempat dibangun aerodrom, hanggar, perbengkelan, rumah
sakit, lapangan golf, dan bioskop (bayangkan di tepi hutan Papua yang terpencil, pada tahun 1930-an telah ada lapangan golf).

Suku2 Papua pun mulai mau bekerja sama dengan para pendatang ini. Sebelumnya, mereka jarang melihat para pendatang berkulit putih, kecuali para pemburu burung cenderawasih atau para pedagang Cina. Orang2 Papua ini diperkerjakan NNGPM untuk membongkar muat barang-barang dari kapal2 yang berlabuh di depan Babo dan menarik batang2 pohon dari sekitar hutan Babo untuk membangun perumahan. Bahkan, mereka juga mau berbulan-bulan meninggalkan kampung2nya membantu NNGPM membuka hutan. Mereka bekerja untuk “Tuan Merah”, begitu mereka memanggil tuan-tuan Belanda ini (mungkin karena muka Belanda ini merah bila kepanasan). Dari suku pemburu menjadi suku pekerja, tentu sebuah perubahan budaya yang besar buat mereka. Diceritakan bahwa suku-suku Papua ahli menggunakan tombak, busur dan anak panah. Keahlian ini telah menjadi rezeki untuk seluruh kru sebab mereka bisa dengan mudah makan daging segar kanguru, babi, dan merpati hutan. Mereka meninggalkan kewajiban mengolah sagu kepada para perempuan di sukunya. Sebelum kedatangan NNGPM, suku2 Papua ini masih menggunakan cangkang kerang sebagai alat pembayaran, kini mereka mempunyai uang Belanda sebagai upah mereka bekerja. Dan saat mereka membawa uang Belanda ke toko-toko yang baru dibuka, mereka begitu takjub bisa mendapatkan barang2 yang semula tak mereka lihat. Dan, standar hidup suku Papua pun meningkat dengan cepat. Mereka mengalami revolusi budaya dalam beberapa tahun saja, jauh lebih cepat daripada lebih dari 1000 tahun sejak nenek moyangnya mulai mendiami wilayah ini.

Para pekerja Eropa NNGPM pun yang semula hanya laki-laki saja mulai membawa kaum perempuannya ke Babo. Maka komunitas seperti di kota besar pun mulai tumbuh, laki-laki perempuan bercampur baur. Bila ada kelahiran anak, maka bendera di kantor NNGPM dinaikkan, bila ada anak kembar lahir; maka dua bendera NNGPM akan dikibarkan. Rute2 penerbangan keluarga mulai ada, sekaligus membawa semua keperluan untuk komunitas. Inilah cikal bakal penerbangan ke Papua. Pada tahun 1940, diresmikan layanan terbang ke wilayah ini “Groote Oost Luchtvaart” (Great East Flight) oleh KNILM (Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatschappij) yang punya airport di Babo.

Semua pesta2 penting tentu saja diadakan dengan meriah : Kelahiran Ratu Belanda, festival St Nicholas, Natal, dan Tahun Baru. Setiap malam minggu ada pemutaran film di bioskop perusahaan, ada pertandingan hoki, sepak bola, tenis dan golf. Para wanita Belanda pun dengan bantuan suku2 asli yang telah menjadi pekerja NNGPM punya hobi baru yaitu mengumpulkan anggrek hutan dari berbagai varietas. Para botanist dan zoologist amatir mulai bermunculan dengan kayanya flora dan fauna Papua ini. Komunitas ini pun menghasilkan para etnograf amatir yang meneliti para suku2 Papua di sekitar Babo. Suatu hari, Mr. Wissel, seorang insinyur NNGPM terbang di atas Punggung Papua (Pegunungan Tengah) Papua dan menemukan beberapa danau besar di sekitar wilayah Enarotali sekarang. Pantai danau ini dihuni oleh suku2 Papua yang belum dikenal sama-sekali oleh dunia luar. Saat Wissel turun dari pesawat, ia disambut sebagai “dewa dari langit”. Kemudian, danau ini sekarang terkenal sebagai Danau Wissel. Hubungan baik terbina, beberapa orang suku Papua penghuni pantai danau ini pernah diterbangkan ke Babo untuk operasi darurat.

Begitulah sekelumit sejarah pembukaan wilayah Papua di Kepala Burung. Membuka semuanya: pengetahuan geologi, membawa minyak ke permukaan (lapangan Klamono, Mogoi, Wasian, dll.), dan membuka keterpencilan suku-suku Papua. Ini sebuah contoh bagaimana minyak bisa membuka dunia yang semula “back of beyond”.

Teman-teman ex Petromer Trend (kini PetroChina) yang menemukan lapangan2 besar di Salawati awal tahun 1970-an (misal Walio dan Kasim), BP yang sedang mengembangkan Tangguh di Berau Bay, dan Genting Kasuri yang mau memulai survey di wilayah ex Babo, pasti punya cerita tersendiri dan terkini membuka Kepala Burung ini; saya hanya menceritakan sedikit masa lalunya.

Salam,
awang

—————

Edo, sebenarnya yang menanam ranjau darat (land-mines) di sekitar Babo itu bukan Jepang, tetapi karyawan NNGPM sendiri dalam rangka bersiap menyambut kedatangan Jepang yang mungkin akan menduduki Babo, sebagaimana dilakukan Jepang di lapangan-lapangan minyak lain di Indonesia saat pecah Perang Pasifik Desember 1941.

Menyambung cerita saya tentang awal eksplorasi Papua 1930s, berikut lanjutannya. Bila cerita kemarin mengisahkan awal peradaban di Babo, maka cerita berikut mengisahkan akhir peradaban di Babo.

“Kiamat di Babo” mungkin sebuah judul yang berlebihan, tetapi begitulah mungkin perasaan para karyawan NNGPM dan keluarganya saat bom-bom mulai berjatuhan dari langit oleh pesawat2 tempur Jepang saat mulai pecah Perang Pasifik Desember 1941.

Kegembiraan masyarakat Belanda dan para karyawan NNGPM di tempat terpencil Babo di ujung Teluk Berau, Kepala Burung, tidak berlangsung lama, hanya sekitar setahun, setelah penerbangan umum ke Babo dibuka Belanda pada tahun 1940. Dua bulan dari Desember 1941 sampai awal Februari 1942 semuanya adalah penderitaan, tak ada lagi kegembiraan, tak ada lagi pesta-pesta, tak ada lagi nonton bioskop bersama (lihat cerita saya di bawah). Bahkan, mereka harus “merayakan” malam tahun baru 1942 sambil bertiarap di rawa-rawa Teluk Berau berteman nyamuk2 rawa, sambil ketakutan dimangsa buaya muara Berau.

9 Desember 1941, sebuah sumur tengah dibor di Lapangan Jeflio, Cekungan Salawati. Malam itu, sumur mencapai kedalaman  6275 kaki. Para geologist Belanda memperkirakan pada kedalaman 7000 kaki akan dijumpai lapisan batugamping Miosen yang telah terkenal produktif di daerah itu (inilah Formasi Kais). Tetapi, malam itu juga sumur diperintahkan untuk ditinggalkan sebab genderang Perang Pasifik telah bertalu dengan pemboman Pearl Harbour di Hawaii oleh Jepang.  Ketakutan karyawan NNGPM di Jeflio beralasan sebab tentara Jepang telah menyerang Sorong, kota terdekat.

Markas Besar Belanda di Batavia telah memerintahkan Babo untuk mengevakuasi semua perempuan dan anak2 Eropa sesegera mungkin ke Jawa. Maka pada tanggal 17-26 Desember 1941 rombongan pesawat2 KNILM tiba di Babo kemudian segera berangkat membawa para perempuan dan anak2 berkulit putih. Pesawat2 itu lenyap di balik awan di atas Kepala Burung, meninggalkan para suami dan ayah yang melambaikan tangan dengan berat hati. Akankah mereka saling berjumpa lagi ? Sebagian besar tidak…

Para karyawan NNGPM yang semula membawa alat las, tang besar, pipa,dll. tiba-tiba dipersenjatai bedil double-barreled, milisi garnisun segera terbentuk, sekitar 40 orang kulit putih ada di milisi itu. Garnisun ini dibentuk untuk tindakan persiapan siapa tahu Jepang mendarat di Babo. Babo cukup terpencil tempatnya, sehingga tak segera menjadi sasaran Jepang setelah Sorong jatuh.

Kemudian, rencana tindakan perusakan sendiri atas fasilitas2 perminyakan pun dibuat. Ini selalu dilakukan di lapangan-lapangan minyak Belanda di seluruh Indonesia saat Jepang menyerang. Mengapa dirusak ? Sebab, Jepang memerlukan bahan bakar untuk perang. Bila fasilitas perminyakan dirusak, maka Jepang akan sulit mendapatkan bahan bakar untuk menjalankan mesin-mesin perangnya.

Segera setelah Jepang menyerang Pearl Harbour, telah diputuskan bahwa seluruh material berharga dari berbagai lapangan dan pelabuhan kecil di seluruh Kepala Burung dikumpulkan di Babo. Bila waktu mendesak, barang-barang berharga itu dapat segera diungsikan ke Jawa dari Babo menggunakan pesawat, atau kalau waktu begitu mendesak, maka sekalian barang itu dapat segera dihancurkan. Daftar barang2 berharga ini antara lain : mesin bermotor, dinamo, boiler, steam engine, juga alat2 berat seperti traktor dan buldozer. Peralatan bengkel dan gudang juga masuk dalam daftar barang2 siap dievakuasi atau dihancurkan. Beberapa peralatan berat disembunyikan di hutan sekitar Babo sambil berharap Jepang tak akan menemukannya. Stasiun radio pun mulai dihancurkan satu per satu, kecuali satu yang terbesar dipertahankan untuk berhubungan dengan Batavia atau Ambon.

Sementara itu, 200 tentara dari Batavia, terdiri atas orang2 Indonesia, dipimpin Kapten van Muyen dan dua sersan Belanda mendarat di Babo pada Januari 1942. Pasukan ini membawa banyak ranjau. Dan ranjau pun ditanam di bawah mesin-mesin berat yang tak akan dievakuasi, juga ditanam di beberapa tempat yang diperkirakan akan dilalui tentara Jepang saat mendarat di Babo.

Sementara itu, Jepang yang sudah menduduki Sorong, melakukan patroli rutin sepanjang Selat Sele (teman2 PetroChina tentu rutin melalui selat ini saat mereka dari Sorong akan ke KMT –Kasim marine terminal –stasiun pengumpul minyak2 Salawati; saya rutin melalui selat teduh ini saat ke lapangan di Pulau Salawati pada 1997-2000). Dermaga Kasim saat Jepang melakukan patroli telah termasuk yang dihancurkan.

Pada minggu-minggu pertama setelah pecah Perang Pasifik, Jepang tak menunjukkan ketertarikan kepada Babo, sehingga evakuasi ke Jawa bisa dilakukan beberapa kali. Tetapi, setelah hampir sebulan berlalu; tiba-tiba karyawan NNGPM yang tengah melakukan perusakan fasilitasnya sendiri dikejutkan dengan kedatangan sembilan pesawat bomber Jepang dari sebelah utara yang tanpa ampun menjatuhkan bom-bom. ”Kiamat di Babo” mulai terjadi.

H.W. Minekus, seorang karyawan NNGPM menulis dalam sebuah laporan, ”Kebanyakan dari kami lari dan menjatuhkan diri di parit-parit pinggir jalan. Kemudian pesawat2 Jepang datang kembali, Kami makin melekatkan diri dengan tanah parit sambil gemetaran. Tetapi saat itu tak ada bunyi bom, mungkin mereka sudah kehabisan amunisi. Bomber2 itu pergi ke arah mereka datang.”

Serangan bom ini telah mengejutkan para pegawai NNGPM dari suku asli. Mereka segera lari ke hutan dari mana mereka berasal dan tak pernah keluar lagi. Sementara itu, kuli-kuli bukan suku Papua juga lari ke hutan, tetapi beberapa hari kemudian mereka kembali ke Babo karena kelaparan.

Membalas serangan Jepang, Belanda bekerja sama dengan Tentara Sekutu mendatangkan pesawat2 bomber dari Australia. Karyawan NNGPM menyambut gembira kedatangan pesawat2 ini. Untuk sementara waktu,serangan Jepang dari utara tak muncul lagi. Akhir Januari 1942, pesawat2 ini kembali ke pangkalannya di Australia.

Pada saat yang bersamaan, Jepang berhasil merebut lapangan-lapangan minyak di Bunyu, Tarakan, dan Miri-Sarawak. Ini membuat Batavia memutuskan agar NNGPM merusak semua fasilitas perminyakan dan segera melakukan evakuasi.

25 Januari 1942 pukul 02.00, datang perintah dari komando militer di Belanda agar semua fasilitas perminyakan yang telah dikumpulkan di Babo dihancurkan. Ketika hari masih gelap, pekerjaan penghancuran dimulai. Lapangan terbang dihancurkan menggunakan ranjau-darat. Berdrum-drum minyak ditumpahkan dan kebakaran besar menghancurkan banyak fasilitas. Tangki-tangki air diledakkan. Mesin-mesin dirusak menggunakan palu godam. Banyak barang dibuang ke sungai, termasuk alat-alat berat seperti buldozer dan lori-lori. Lubuk sungai sedalam 36 kaki di Kasira dan Kaitero cocok untuk pembuangan barang2 ini. Laporan-laporan geologi, laporan sumur, contoh2 batuan dan banyak dokumen dibakar di belakang gedung kantor sebelum gedungnya pun dibakar. Yang tidak dirusak hanyalah stasiun pembangkit listrik, yang akan disisakan sampai evakuasi dimulai. Tanggal 1 Februari Ambon jatuh, evakuasi harus segera dimulai.

Awal Februari 1942, lenyaplah semua peradaban perminyakan di Babo, tak sampai sepuluh tahun berjalan sejak dimulai pada pertengahan 1930-an.

Evakuasi semua pekerja dan keluarganya yang masih tertinggal dimulai. Evakuasi akan dilakukan ke Dobo di Kepulauan Aru, bukan ke Jawa karena kuatir Jepang akan menyerang Jawa, pusat pemerintahan Belanda di Hindia Belanda. Keputusan tepat sebab Jepang menyerang Jawa dan menjatuhkannya pada Maret 1942. Evakuasi karyawan di Babo dilakukan dari Sungai Kaitero melalui Taniba. Setelah melintasi hutan rawa dan hutan perbukitan Taniba, rombongan tiba di Teluk Arguni. Di teluk ini, dua kapal NNGPM menunggu : Soedoe dan Minjak Tanah. Kedua kapal ini  membawa rombongan ke Dobo, Kepulauan Aru.

Minekus, karyawan NNGPM menceritakan evakuasi ini, ”Kami merasa susah mesti melalui sungai-sungai kecil berawa-rawa berlumpur coklat. Sebuah perjalanan yang sangat menyiksa melalui daerah tak berpenduduk yang hanya dihuni bakau-bakau yang tinggi. Tanda-tanda kehidupan hanyalah suitan burung kakatua putih di atas kami. Kami juga mesti berjalan cepat sebelum pasang naik menyergap. Ketika kami sampai di perbukitan, pemandangan lumayan indah, tetapi di sepanjang perjalanan kami melihat kampung2 suku Papua yang sudah ditinggalkan.”

Demikianlah sekelumit kisah berakhirnya peradaban perminyakan di Babo yang disusun berdasarkan laporan-laporan Belanda NNGPM.

Minyak membuka dan menutup peradaban di Babo. Semoga tak terulang lagi.

Salam,

Awang

12 Tanggapan to “BABO (1935-1942): kota minyak yang hilang di Papua”

  1. saya oreng babo dan saya besar di babo memang benar cerita anda rumah2 yang berada di babo hampir semua habis tinggal vondasinya saja dan banyak alat perang,bom,harta benda dan lain2 kepunyaan tentera balanda dikubur dan di buang ke dalam kali,ad 1 cerita klasik sekitar tahun 1990 kalau malam jumat kliwon apabila kita berjalan ke bandara maka di sana kita akan mendengar orang2 yang bicara padahal tidak ada orang tapi ada yang mengeluarkan suara…

    • wahyuancol said

      Pak Ramija, terima kasih atas kunjungannya. Sejak kunjungan saya ke Babo sekitar 15 tahun yang lalu itu, ingin saya kembali ke sana, tetapi peluangnya sekarang kecil. Ketika dahulu masih di Ambon, saya masih cukup besar harapan untuk ke Babo, tetapi sekarang setelah di Jkt, tidak terbayang lagi bisa ke sana. Ketika itu, ada foto-foto yang saya buat. Tetapi sekarang semuanya musnah karena konflik sosial di Ambon.
      Salam,
      Wahyu

  2. palughan said

    Salam bapak Wahyu, sungguh cerita yang sangat menarik pak..

    Terimakasih u/ artikelnya :).
    artikelnya cukup untuk menjadi “historical knowledge” bagi saya u/ melaksanakan final assignment di salahsatu KKKS yang ada disana 🙂

    trims pak..

  3. widi said

    Terimakasih pak Wahyu dan Pak Awang, cerita sejarah yang sangat menarik bagi saya. Saya lahir dan besar di Sorong, dan kini bekerja di PetroChina. Saya sedang mencari awal mula Sorong menjadi daerah penghasil minyak, dan catatan bapak sangat memberi jawaban bagi saya.

  4. INAL NAURY said

    boleh saya tambah sedikit, babo adalah daerah yang mana sangat berarti bagi kerajaan belanda pada waktu itu emang semua cerita yang saya baca benar apa adanya dari hasil yang juga saya dapat dari pemuka sejarah di babo.

  5. […] Karena sewaktu saya di Babo tidak ada koneksi internet yang memadai, saya tidak bisa googling tentang sejarah Babo secara lengkap dan langsung. Siapa tahu saja ada penjelasan sejarah yang bisa saya pelajari ketika saya on the spot, selain keterangan dari masyarakat setempat bahwa Babo pernah menjadi Surabaya ke dua. Pernah dijadikan pangkalan militer oleh Belanda dan Jepang. Sekembalinya saya ke Yogyakarta, 2 bulan kemudian barulah rasa penasaran saya akan Babo tercerahkan. Sayangnya belum banyak orang Indonesia yang membahas tentang sejarah PD 2 di Babo seperti membahas Surabaya. Jika saya tidak pernah mengunjungi Babo, sepertinya saya juga tidak akan tahu bahwa di sana pernah menjadi TKP perang dunia ke dua. Jika tertarik tentang sejarah PD ke dua yang terjadi di Babo, silahkan baca di website di bawah ini : http://www.pacificwrecks.com/airfields/indonesia/babo/ http://books.google.co.id/books?id=QWpIOj2R6R8C&pg=PA105&lpg=PA105&dq=babo+world+war&source=bl&ots=5GWSV3SroF&sig=-3Xb41bkvFma-KFX5uFq9KcDbEw&hl=en&sa=X&ei=jZLlU8KQAZLg8AWa_YKwCg#v=onepage&q=babo%20world%20war&f=false http://abualbanie.wordpress.com/2011/02/13/tempat-misterius-itu-adalah-lapangan-terbang-babo/ https://wahyuancol.wordpress.com/2009/02/07/babo-1935-1942-kota-minyak-yang-hilang-di-papua/ […]

  6. sebenarnya byk hl yg blm terungkap terkait mslh Babo, khususnya 4 suku besar, yakni suku Wamesa, suku Kuri, suku Irarutu dan suku Sumuri. Termasuk juga awal penemuan Babo, sp sebenarnya yg mempunyai Babo & penduduk awal yg mendiami pulau Babo.

  7. Mutrib said

    WoO hebad yha, saya Bangga dengan cerita itu semoga anak2 babo bisa di perhatikan oleh perusahaan dalam hal pendidikan, Jangan kasih sekolah anak2 papua yg tnggal jauh dari babo. Menurut saya perusahaan tdk meningkatkan SDMnya anak2 babo malah di perhatikan orang2 yg bukan dari babo.

  8. Umar Ali Maruapey said

    Luar biasa,sejarah singkat tentang pulau Babo.pulau yg kecil namun saat ini menjadi penyumbang income bagi Negara Indonesia,semoga kedepannya pemerintah pusat bisa memperhatikan pembangunan di Babo Raya.
    Terima kasih Pak Wahyu dan pak Awang atas tulisannya.

Tinggalkan komentar