Kepulauan Indonesia

Cerita dari, untuk dan tentang Kepulauan Indonesia beserta Penghuni dan Penduduknya

Archive for the ‘PEMILU 2009’ Category

KUALITAS KITA (dari kekacauan DPT)

Posted by wahyuancol pada April17, 2009

Pada posting yang lalu, telah kita lihat bagaimana kualitas kita dengan bercermin pada kondisi para Caleg yang gagal mengumpulkan suara yang cukup untuk dapat menjadi wakil kita, dengan kaca mata Psikologi Politik dan  Sosiologi Politik. Sekarang kita coba melihat bagaimana cermin kualitas kita bila kita lihat melalui kekacauan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Untuk memberikan gambaran tentang kualitas kita ini, saya mengutip artikel dari Detik Pemilu bertanggal 17 April 2009 (http://pemilu.detiknews.com/read/2009/04/17/063055/1116826/700/tak-perlu-kambing-hitam-tak-butuh-pahlawan-kesiangan) Akses 17 April 2009.

 

Tulisan tersebut saya kutip dengan sedikit perubahan yang tidak merubah substansinya. Saya hanya menambah judul-judul kecil bagi setiap persoalan yang diungkapkan penulis artikel itu. Inilah gambaran kondisi kita itu.

 

(KPU) Kita Lamban

 

  • Sedari awal pimpinan KPU dilantik, berbagai pihak mengingatkan agar berlari lebih cepat. Tapi pilihan KPU kala itu berkonsentrasi pada status hukum sejawat mereka, Sjamsul Bahri yang terlibat kasus dugaan korupsi di Malang.
  • Alasannya dengan jumlah komisioner hanya enam orang, lari KPU menjadi pincang. Sayangnya setelah Sjamsul Bahri memperkuat jajaran, tetap lari KPU tidak secepat rakyat harapkan. Terlambat membentuk PPK dan PPS, kepanikan distribusi logistik dan minim sosialisasi contoh selain kisruh DPT.

 

(Partai Politik) Kita Hanya bisa Menggugat dan Memikirkan Kepentingan Diri Sendiri

 

  • Kelambanan kinerja KPU akhirnya menuai kekisruhan DPT Pemilu 2009. Isu ini lalu dimanfaatkan sekelompok politikus untuk kepentingannya sendiri dengan dalih memperjuangkan hak pilih warga negara.
  • Pihak politisi yang menggugat DPT itu pun sebenarnya ikut andil menjadikan kinerja KPU lamban. Fungsionarisnya di parlemen memakan waktu terlalu banyak ketika bersiasat menyusun UU Pemilu dan Pilpres demi keunggulan parpol masing-masing.
  • Akibatnya UU Pemilu dan UU Pilpres baru disahkan akhir 2008. Otomatis berarti menambah panjang daftar antrean beban kerja KPU di awal 2009.

 

Manajemen (Pemerintahan) Kita Buruk

 

  • Jajaran pemerintah juga sepenuhnya tak luput dari kisruh DPT. Materi di dalam Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu yang disediakan pihak Depdagri berdasar hasil Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Bekelanjutan (P4B) yang disuplai dari RT/RW menyimpan cacat serius.
  • Tindak pemutakhiran DPT yang tiga bulan dilakukan, ternyata tidak cukup mampu menyelesaikan masalah. Pun penerbitan Perppu No. 1/2009 bukan obat mujarab bagi kasus DPT.

 

 

(Politisi) Kita Bak Pahlawan Kesiangan yang hanya Bisa Menuding dan Menggugat dan Mencari Tumpangan

 

  • Kasus DPT yang mulai mencuat pasca Pilkada Jatim, meledak menyusul hasil hitung cepat perolehan suara para kontestan Pemilu 2009 tanyang di media massa. Politisi dari parpol yang gagal meraup dukungan rakyat sesuai harapan awal, berseru lantang.
  • Tak ubahnya pahlawan kesiangan, mereka yang sesungguhnya sedang mencari tumpangan menuju Pilpres 2009 itu, menyuarakan hak pilih bagi rakyat. Tanpa disadari subtansi isu berbalik 180 derajat, dari semula penggelembungan DPT menjadi tidak terdaftarnya calon pemilih.
  • Para politisi itu lalu sepakat menuding pemerintah -yang kebetulan dipimpin oleh saingan bersama di Pilpres 2009- adalah biang dari kisruh DPT. Mereka mendesak pihak pemerintah untuk bertanggungjawab.

 

(Pemerintah) Kita hanya bisa Menyalahkan

 

  • Ganti pemerintah yang sewot berat, minimnya kegiatan sosialisi KPU yang jadi sorotan. Tak cukup sekali KPU selaku pihak yang berwenang dalam penyelenggaran pemilu diminta menyelesaikan masalah. Menjelang hari-H Pilpres 2009 segara kekisruhan DPT harus tuntas.

 

(KPU) Kita Tidak Mau Disalahkan

 

  • Jajaran KPU jelas saja ogah dituding kambing hitam. Mereka lalu arahkan tudingan ke pemerintah. Alasannya DPT mereka susun berdasarkan pada data kependudukan yang disuplai oleh Depdagri. (Data Kependudukan dari Depdagri buruk? – Pengutip)

 

(Warga dan Parpol) Kita Ngakpedulian alias Cuekkan

 

  • Dipersoalkan pula sikap cuek warga terhadap DPS yang diumumkan di kelurahan. Begitu juga dengan tim dari parpol kontestan pemilu yang lalai mencocokan DPS, padahal pihak parpol berkepentingan atas masalah DPT.

 

(Elit Politik) Kita hanya Saling Tuding

 

  • Dua pekan lagi tahapan Pilpres 2009 resmi dimulai. Di sisa waktu sempit ini, buat apa elit politik masih saja tuding-menuding?

 

Inilah Sebenarnya Keinginan Kita

 

  • Rakyat hanya ingin negara aman dan nyaman mencari makan. Tidak perlu kambing hitam. Tidak butuh pahlawan kesiangan. Jadi mengapa masih saja buang-buang waktu untuk tuntaskan masalah?

Itulah gambaran kualitas kita dalam melaksanakan Pemilu.

Semoga bermanfaat.

Salam,

Wahyu

Posted in Ah... Indonesia ku, Kualitas Bangsa, PEMILU 2009 | Dengan kaitkata: , , , , | Leave a Comment »

KUALITAS (Calon Wakil) KITA

Posted by wahyuancol pada April16, 2009

Pemilihan Umum untuk memilih anggota legislatif kita baru saja selesai kita lakukan pada tanggal 9 April 2009 yang lalu. Sementara penghitungan suara masih terus dilakukan, berbagai kondisi berkembang dan mengungkapkan bagaimana kualitas (calon wakil) kita yang sebenarnya. Ada Calon Anggota Legislatif (Caleg) yang mengalami gangguan kejiwaan karena gagal meraih suara. Bahkan ada yang bunuh diri.

 

Mari kita coba simak apa yang terungkap oleh ahli psikologi politik dan ahli sosiologi politik sebagaimana dimuat oleh harian Kompas, Rabu tanggal 15 April 2009 yang saya kuitp dengan memodifikasinya tanpa merubah isinya (http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/15/04235834/caleg.alami.frustrasi).

 

Menurut Hamdi Muluk, dosen Psikologi Politik dari Universitas Indonesia, gambaran kualitas (Calon Wakil) kita adalah sebagai berikut:

 

1. (Calon Wakil) Kita Memiliki Mental yang Tidak Matang

  • Sikap negatif sejumlah calon anggota legislatif yang gagal memperoleh dukungan suara pada pemungutan suara lalu menunjukkan ketidakmatangan mental mereka. Para caleg yang merasa hebat tidak siap menghadapi kenyataan bahwa ternyata diri mereka tidak sehebat yang dipikirkan.
  • Ketidakmatangan mental itu dapat muncul dari yang paling ringan berupa ketidakmampuan berpikir jernih atau bertingkah laku buruk hingga tertawa atau menangis sendiri yang dikategorikan sebagai sakit jiwa.

2. (Calon Wakil) Kita Tidak Siap dengan Resiko Kegagalan

 

  • Mereka umumnya tidak siap dengan risiko kegagalan. Apalagi mereka telah mengeluarkan modal sangat besar dan menyisakan utang yang menumpuk.

 3. Budaya Berpartai Kita, Lemah

 

  • Budaya berpartai di Indonesia masih sangat lemah. Jarang partai yang mengader dan mendidik anggotanya hingga menjadi anggota partai yang benar-benar memahami politik dan tahu segala risikonya. Caleg hanya direkrut sebagai anggota partai beberapa bulan menjelang pendaftaran partai peserta pemilu.

 

Menurut Arie Sudjito, dosen Sosiologi Politik dari Universitas Gadjah Mada, kualitas kita adalah sebagai berikut:

 

1. (Para Caleg) Kita Mengalami Frustasi Sosial , Gagal Membangun Etika Politik

 

  • Kelakuan para caleg yang gagal mendulang suara itu menunjukkan kefrustrasian sosial. ”Ketidaksiapan mereka menghadapi kekecewaan menunjukkan gagalnya pembangunan etika politik,” katanya.
  • Proses demokrasi masih dianggap upaya mobilisasi vertikal dengan mengabaikan etika. Mereka berpolitik hanya dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kekuasaan semata. Akibatnya, mereka menempuh berbagai macam cara untuk menang, baik dengan berbuat curang, tak jujur, maupun melakukan politik uang.

 2. Masyarakat Kita Pragmatis dan Kualitas Demokrasi Kita Merosot

 

  • Kondisi itu (yang disebutkan di atas – Pengutip) melahirkan caleg terpilih yang berasal dari kelompok masyarakat dengan modal besar. Masyarakat pun akhirnya memberikan pilihan praktis dengan memilih caleg yang paling besar memberikan kontribusi bagi mereka. Frustrasi politisi yang bertemu dengan tindak pragmatis masyarakat membuat kualitas demokrasi terus merosot.

 3. Demokrasi Kita Mewah, tapi Miskin Etika

 

  • ”Demokrasi kita sangat mewah (biaya besar), tetapi miskin etika politik,” katanya.

 4. (Calon Wakil) Kita Hanya Berpikir Mencapai Target Pribadi dan Tidak Siap dengan Agenda Normatif

 

  • Guncangan yang melahirkan frustrasi sosial itu tak hanya dialami caleg yang gagal. Namun, caleg yang akan lolos menjadi anggota legislatif juga mengalami hal sama. Mereka yang lolos hanya akan berpikir untuk mencapai target pribadi, tetapi tidak siap dengan agenda normatif sebagai wakil rakyat.

 Demikian gambaran kualitas kita yang tercermin dari kualitas para Caleg kita. Semoga kita dapat memperbaiki diri kita.

 

Salam,

Wahyu 

Posted in Ah... Indonesia ku, HUMANIORA, Kualitas Bangsa, PEMILU 2009 | Dengan kaitkata: , , , | 1 Comment »

NEGARA PARA KORUPTOR 6 (Rumah Sakit Jiwa dan Penjara)

Posted by wahyuancol pada Maret22, 2009

Ada yang menarik di tengah-tengah masa kampanye Pemilu di Indonesia saat ini. Ketika para Caleg sibuk berkampanye.  Sejumlah Rumah Sakit Jiwa pun turut bersiap-siap. Mereka ternyata bersiap-siapo menampung para Caleg yang mengalami gangguan jiwa bila nanti kalah dalam Pemilu.

Berikut ini adalah apa yang dikabarkan oleh TempoInteraktif tanggal 19 Maret 2009 http://www.tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_berita_mutakhir/2009/03/19/brk,20090319-165601,id.html:

Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta dr. Muhammad Sigit menjelaskan bahwa untuk mengantisipasi calon anggota legislator yang mengalami gangguan jiwa karena gagal menjadi anggota dewan, pihaknya telah menyiapkan tim khusus rehabilitatif. “Tim kami terdiri dari lima psikiater, enam psikolog, tiga social worker, dua terapi religius, dan 10 perawat profesional,” jelasnya (19/3).

Dia memperkirakan pada pemilu 2009 yang multipartai plus banyaknya caleg yang bertarung, berpotensi terjadi gangguan jiwa bagi mereka yang tidak terpilih. “Itu wajar. Kan mereka sudah keluar uang banyak, tenaga, dan segala daya upaya agar bisa menjadi anggota dewan. Saya tidak yakin ada yang siap kalah. Pasti siapnya untuk menang,” paparnya.

Saat ini RSJ memiliki 293 tempat tidur, dengan tingkat keterisian rata-rata 70 persen. Bagi caleg, dia mengatakan secara kebetulan telah dibangun tempat VIP yang memiliki 9 tempat tidur. “Caleg kan biasanya dari latar belakang ekonomi menengah ke atas. Jadi ada tempat khusus agar tidak bercampur dengan pasien lain,” ujar Sigit. Namun ketika caleg telah kehabisan uang, dengan memakai kartu pasien gratis seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Sigit juga tidak menolak.

Dia menambahkan, pasca pemilu legislatif 9 April 2009, akan mencoba menghubungi partai peserta pemilu di Surakarta. Dia merencanakan adanya pembinaan mental agar caleg yang gagal tidak mengalami gangguan jiwa. “Itu upaya pencegahan,” ujarnya.

Demikian dari TempoInteraktif.

Sementara itu, berikut ini adalah kutipan dari Editorial Media Indonesiahttp: //www.mediaindonesia.com/read/2009/03/03/65348/70/13/Rumah_Sakit_Jiwa_Menanti_Caleg_:

PERSAINGAN untuk memperoleh predikat anggota dewan terhormat sangat ketat. Jumlah calon anggota legislatif (caleg) terlampau banyak, mencapai jutaan orang, sedangkan kursi yang tersedia amat terbatas.

Bayangkan, sebanyak 11.215 orang memperebutkan 560 kursi DPR dan 1.109 orang bersaing mendapatkan 132 kursi Dewan Perwakilan Daerah. Selain itu, sekitar 112 ribu orang bertarung untuk mendapat 1.998 kursi di DPRD provinsi dan 1,5 juta orang bersaing merebut 15.750 kursi DPRD kabupaten/kota. Sebuah jumlah yang luar biasa banyaknya.

Persaingan yang keras bukan menghadapi caleg dari partai lain, melainkan menghadapi caleg dari partai yang sama untuk meraih suara terbanyak dalam pemilu yang digelar pada 9 April mendatang. Jadi, inilah pertarungan di luar dan di dalam partai yang memang bisa bikin otak miring.

Padahal, memperoleh suara terbanyak belum menjadi jaminan mendapatkan tiket ke Senayan. Itu disebabkan partainya mesti lolos 2,5% parliamentary threshold. Jika partainya tidak mendapatkan suara melebihi ambang batas parlemen, sekalipun sang caleg mendapatkan suara melampaui caleg dari partai lain, dia dan partainya tetap tidak bisa melenggang kangkung ke Senayan.

Karena itulah, para caleg diperkirakan banyak yang masuk rumah sakit jiwa setelah hasil pemilu ditetapkan. Perkiraan itu tidaklah mengada-ada. Untuk mendapatkan nomor urut kecil dalam daftar urut caleg saja, mereka harus merogoh kantong dalam-dalam. Sialnya, setelah membeli nomor urut, Mahkamah Konstitusi menetapkan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Bukan berdasarkan nomor urut seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif.

Para caleg mengeluarkan uang bukan dari kelimpahan harta, melainkan dari menjual harta, berutang, dan meminta-minta ke kiri dan ke kanan. Setelah gagal menjadi anggota dewan, mereka pasti pusing tujuh keliling untuk menutup utang dan rasa malu. Dari sanalah pangkal gangguan yang berujung pada sakit jiwa.

Sebuah penelitian dari ahli jiwa Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung menyebutkan sangat mungkin para caleg yang tidak lolos bisa gila karena frustrasi. Setelah dilakukan tes di berbagai kota/kabupaten, ditemukan fakta bahwa daya tahan para caleg tidak kuat sehingga susah menerima kenyataan buruk bahwa mereka kalah dalam pemilu.

Akibat kekalahan dalam pemilu, menurut penelitian itu, para caleg bisa mengalami gangguan jiwa yang diawali dengan rasa cemas, susah tidur, putus asa, merasa tak berguna, dan kemungkinan terburuk bunuh diri.

Penelitian itu sudah mempunyai fakta empiris. Seorang calon bupati di Jawa Timur, beberapa waktu lalu, gila karena kalah dalam pilkada. Dia menghabiskan Rp3 miliar hasil mengutang untuk biaya kampanye.

Utangnya menggunung, bisnisnya bangkrut, dan bercerai dengan istri. Adalah tepat antisipasi yang dilakukan Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan untuk menyiagakan seluruh dokter yang bertugas di 32 rumah sakit jiwa di Tanah air. Tapi daya tampung rumah sakit jiwa cuma 8.500 tempat tidur. Terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jumlah caleg.

Pembangunan kapasitas rumah sakit jiwa tentu tidak pernah mengantisipasi otak miring karena kalah pemilu. Bisa terjadi, ada pemandangan yang menyedihkan, pasien caleg keleleran di selasar rumah sakit jiwa.

Demikian Editorial Media Indonesia.

Tetapi, menurut Penulis, masih adalah satu lagi yang perlu di siapkan oleh Pemerintah, yaitu Penjara

Pemerintah perlu menyiapkan juga penjara. Penjara ini adalah bagi para Caleg yang lolos dalam Pemilu dan menjadi anggota legislatif. Mengapa demikian?

Di atas telah disebutkan bahwa para Caleg itu bukan orang yang bergelimang harta. Meraka mendapatkan uang untuk kampanye dari hasil menjual harta, berhutang atau minta sana sini. Jadi apabila nanti mereka berhasil menjadi anggota legislatif, tentu pikiran pertamanya adalah bagaimana mengembalikan hartanya yang telah terjual itu, Bagaimana melunasi hutang. Dengan gaji anggota legislatif yang terbatas, maka tidak ada cara lain yang lebih cepat untuk mengembalikan semua itu selain dari Korupsi.

Pelaku korupsi tidak pernah sendirian. Banyak pihak yang terkait dengannya. Tentu kita ingat bagaimana munculnyan istilah “Korupsi berjama’ah”. Mari kita amati sedang hangat sekarang ini, kasus Abdul Hadi Djamal. Fokus memang pada Abdul Hadi Djamal, tetapi bisa mengait banyak pihak.

Jadi KPU juga haris bersiap-siap juga. Memperbanyak jumlah personilnya karena akan banyak pekerjaan nantinya.

Salam dari Ancol

Posted in Ah... Indonesia ku, Korupsi, PEMILU 2009 | Dengan kaitkata: , , , | 1 Comment »