Kepulauan Indonesia

Cerita dari, untuk dan tentang Kepulauan Indonesia beserta Penghuni dan Penduduknya

Memunyai?

Posted by wahyuancol pada Januari8, 2017

Tulisan ini saya ambil dari tulisan Yanwardi dengan judul seperti di atas yang dipublikasikan oleh Harian Kompas, Sabtu, 7 januari 2017 di halaman 13, kolom Bahasa.

Saya tertarik dengan tulisan ini karena menjawab persoalan yang saya hadapi sejak lama,  berhadapan dengan kata “memerhatikan”. Persoalan itu muncul setelah dalam beberapa tahun ini di dalam surat kabar ini sering muncul kata “memerhatikan”. Saya merasa bahwa “memperhatikan” lebih benar daripada “memerhatikan” karena lebih mudah diucapkan, dan pengucapan itu sudah saya lakukan sejak saya belajar Bahasa Indonesia ketika Sekolah Dasar lebih 40 tahun yang lalu. Di bawah ini adalah tulisan itu yang saya kutip utuh dengan sedikit modifikasi penambahan.


Agak aneh bagi saya sikap sebagian praktisi dan pemerhati bahasa yang bersikeras mengubah mempunyai menjadi memunyai. Sejak dahulu penurut bahasa memilih mempunyai ketimbang memunyai. Bahkan, sebagian di antara mereka, ketika saya tanyakan kedua kata itu, justru bertanya balik, “Emang ada kata memunyai?” Bagi penurut asli Bahasa Indonesia, kata-kata, seperti mempunyai, mengurung, memukul, menyapu dan menusuk (saya tambahkan: memperhatikan, mempengaruhi) terucap dengan sendirinya, tidak mengingat dulu bahwa sistem morfofonemik (proses fonologis akibat pertemuan morfem dengan morfem), yakni awalan “me(N)-“, kalau bertemu kata dasar berawal huruf/fonem/bunyi k, p, s dan t harus luluh, apalagi sampai mencari nasal yang harus homorgan (ng, m, ny dan n). Otak penutur akan pusing bila demikian. untunglah intuisi bahasa penutur bergerak otomatis ketika berbahasa.

Data yang terujar dari penutur Bahasa Indonesia inilah yang dianalisis oleh ahli bahasa, diabstraksikan, atau disimpulkan. Ahli bahasa menjelaskan mengapa, misalnya, dalam mempunyai, /p/ tidak luluh, berbeda dengan bentukan yang kata dasarnya berawal /p/ lainnya: memukul, memaku, memoles, memutih, dll. Pemerhati bahasa dalam konteks ini hendaknya tidak terburu-buru memukul rata suatu gejala kebahasaan: mempunyai harus jadi memunyai. Siapa tahu ada “kaidah” lain yang berlaku pada kata mempunyai. Pada kenyataannya, dalam konteks sistem morfofonemik awalan “me(N)-” + D (dasar) yang berawalan k, p, s dan t, hukum peluluhan hanya salah satu kaidahnya. Kaidah ini tampak langsung bertabrakan dengan data, misalnya, mengepak, mengesol, dan mengetik. Tampak di situ fonem awal dasar (p, s, dan t) tidak luluh. Belum lagi, kata dasar yang berawal fonem k, p, s, dan t yang diikuti konsonan tidak luluh pula (memproduksi, menstabilkan, dll).

Sekurangnya dalam sistem morfofonemik awalan “me(N)-” + D yang berawal dengan k, p, s, dan t terdapat lima kaidah:

  1. Kaidah peluluhan (jika huruf pertama dasar diikuti vokal): mengurung (D: kurung), memasang (D: pasang), menyapu (D: sapu), menuruk (D: tusuk).
  2. Kaidah pengekalan (jika huruf pertama dasar diikuti konsonan): memproduksi (D: produksi), menstabilkan (D: stabil), mentraktir (D: traktir), mengklaim (D: klaim).
  3. Kaidah penambahan bunyi /e/ (jika dasar bersuku satu yang diikuti vokal): mengepak (D: pak), mengesol (D: sol), mengetik (D: tik).
  4. Kaidah semantik (jika peluluhan mengakibatkan kemungkinan ambigu (maka jangan luluh)): mengkaji (menelaah) (D: kaji).
  5. Kaidah disimilasi (alat ucap kesulitan melafalkan bentuk peluluhannya: mempunyai, mempengaruhi, memperhatikan (D: punya).

Kaidah disimilasi bukan sesuatu yang baru. Dalam sistem morfonemik awalan “ber + ajar” tampak juga mengalami disimilasi, yakni bunyi /r/ menjadi “bel-” (belajar). Dengan melihat fakta kebahasaan tersebut, saya berpendapat tidak ada argumen kebahasaan yang kuat untuk mengubah mempunyai menjadi memunyai. Salah satu ciri bahwa suatu hukum bahasa “kurang tepat” adalah adanya resistensi oleh penutur bahasa. Jika hanya beberapa penutur yang melakukan “penolakan”, misalnya, dengan merasakan kejanggalan, bisa jadi penutur tersebut yang tidak tepat. Namun, jika sebagian besar penutur merasakan kejanggalan atas suatu hukum bahasa, saya pikir “hukum bahasa”-nya yang tidak tepat. Resistensi akan terjadi di sini.

Ada sebagian ahli bahasa dan praktisi bahasa yang menganalisis bahasa bukan berdasarkan data, melainkan berdasarkan asumsi mereka. Inilah yang menurut saya, harus dihindari sebagaimana terjadi atas kemunculan bentukan memunyai. Bahasa adalah milik penutur bahasa. data yang dihasilkan mereka merupakan data yang sahih dianalisis, bukan data artifisial berdasarkan asumsi.


Demikian kutipan yang saya lakukan.

Mengenai hal tersebut di atas, saya teringat dahulu guru Tata Bahasa di SMA mengatakan, kalau dasarnya adalah kata serapan dari bahasa asing, maka berlaku Kaidah Pengekalan agar tidak membingungkan. Misalnya, memproduksi dari kata dasar “produksi” yang diserap dari bahasa Inggris; mempraktekkan (D: praktek).

Kemudian, ada lagi yang mengganggu saya, yaitu: mana yang benar “diembuskan” atau “dihembuskan”? Menurut saya, yang benar “dihembuskan”, tetapi sekarang ada yang mengatakan yang benar “diembuskan”.

Salam,

WBS

Tinggalkan komentar