Kepulauan Indonesia

Cerita dari, untuk dan tentang Kepulauan Indonesia beserta Penghuni dan Penduduknya

Archive for the ‘Ah… Indonesia ku’ Category

Gagap Menghadapi Kemajuan Teknologi

Posted by wahyuancol pada Maret23, 2016

Jakarta 22 Maret 2016 dilanda demonstrasi para sopir angkutan umum yang didominasi oleh sopir taksi konvensional. Mereka berdemonstrasi menolak kehadiran jasa transportasi berbasis online (daring – dalam jaringan). Demonstrasi itu berhasil melumpuhkan transportasi di Ibukota Negara ini. Para demonstran itu menuntut kepada Pemerintah agar menutup jasa transportasi model baru itu karena mereka menganggap telah merugikan mereka. Berbagai macam tanggapan muncul.

Untuk dapat memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi, sebuah uraian menarik telah ditulis oleh Heru Margianto. Inti pesan dari tulisan itu adalah bahwa kita (semua pihak terkait) harus berubah mengikuti perkembangan teknologi agar tidak tertinggal dilindas perubahan yang terjadi karena perkembangan teknologi.

Di bawah ini adalah tulisan itu. Selamat menikmati.

———————————————

Mereka yang Gagap Menghadapi Perubahan

Oleh: Heru Margianto 

Don Tapscott dan Anthony Williams sudah jauh-jauh hari mengingatkan, ada gelombang ekonomi model baru yang menjalar ke seantero bumi. Model baru yang berkembang karena kehadiran internet ini mengubah cara sebuah produk diciptakan dan dipasarkan. Namanya kolaborasi.

Kata Tapscott dan Williams, gelombang baru tersebut akan memicu kebingungan dan perselisihan. Dalam bukunya “Wikinomics” yang terbit Desember 2006 mereka menulis,

“Namun, bisa diduga paradigma baru akan memicu pergeseran dan kebingungan. Paradigma baru kerap disambut dengan dingin, atau lebih buruk lagi, dengan ejekan atau permusuhan. Benturan kepentingan memerangi peralihan ini. Para pemimpin lama menghadapi kesulitan besar untuk menerima paradigma baru.”

Kata Tapscott dan Williams lagi,

“Pelajaran utama bagi manajer bisnis adalah perusahaan yang kuno, tertutup, dan berfokus ke dalam sedang sekarat, tidak peduli dari industri apa Anda berasal.”

Cerita tentang aksi demonstrasi anarkitis kemarin antara sopir taksi tradisional dan pelaku jasa transportasi berbasis teknologi aplikasi adalah cerita tentang benturan antara paradigma ekonomi lama dan baru.

Teknologi informasi yang berkembang demikian cepat melahirkan model ekonomi berbasis aplikasi di bidang transportasi secara kolaboratif. Disebut model baru karena para pelaku usaha tidak berada dalam sebuah ikatan hirarki sebuah korporasi.

Siapapun yang memiliki motor atau mobil dapat bergabung dalam aplikasi Uber, Grab, atau Go-Jek. Tidak ada relasi struktural “bos” dan “pegawai”.

Ikatannya sangat longgar sehingga biaya operasional sebuah perusahaan terpangkas sedemikian rupa. Begitu efisiennya usaha bersama ini sehingga mereka dapat mengenakan tarif lebih murah kepada konsumennya.

Berbeda dengan model bisnis transportasi tradisional seperti Blue Bird atau Taksi Express. Sebagai sebuah perusahaan, semua alat-alat produksi harus dimiliki sendiri sebagai modal awal usaha.

Para pekerjapun terikat dalam sebuah ikatan kontrak kerja yang ekslusif. Akibatnya, tentu biaya operasional tidak kecil yang berujung pada ongkos yang harus dikeluarkan konsumen ketika menggunakan jasa mereka.

Rhenald Khasali menguraikan dengan sangat gamblang tentang apa dan bagaimana Wikinomics dalam tulisannya Demo Sopir Taksi dan Fenomena “Sharing Economy”.

Sudah jadi bagian hidup

Kini model bisnis kolaboratif jasa transportasi berbasis aplikasi sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Jakarta. Soal ojek, misalnya, dalam banyak hal jauh lebih menguntungkan pesan layanan Grab atau Go-Jek ketimbang ojek pangkalan.

Dari sisi harga, Grab atau Go-Jek lebih pasti dan murah, tidak perlu pusing tawar-menawar (haree geenee masih nawar?). Kadang, kalau ada promo, konsumen bisa keliling Jakarta hanya dengan tarif Rp 10.000. Harga ojek pangkalan, bisa 2-3 kali lipat.

Dari sisi kemudahan, amatlah praktis layanan ini. Semuanya tersedia di layar ponsel. Seluruh informasi tertera di sana, mulai dari jarak, waktu tempuh, harga, identitas pengendara, hingga kirim pesan lokasi kepada orang terdekat untuk memastikan yang bersangkutan tahu posisi kita saat ini. Kita juga tidak perlu berpanas-panas keluar ruangan untuk cari ojek, cukup usap-usap telepon, layanan datang.

Layanannya pun beragam. Tidak hanya mengantar orang, tapi juga bisa untuk mengirim atau mengambil barang bahkan memintanya membeli makanan atau belanjaan.

Jasa transportasi berbasis aplikasi ini juga menyediakan ruangfeedback. Dengan sistem rating, kita bisa mengapresasi jika puas atau “menghukum” pengendara jika tidak puas. Dengan ojek tradisional, kita hanya bisa mengumpat jika dikecewakan.

Demikian pula dengan layanan jasa transportasi roda empat: lebih murah dan praktis.

Pendek kata, itu semua telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita.

Di sisi lain, layanan inipun membuka lapangan pekerjaan bagi ribuan orang. Mereka yang tidak memiliki kesempatan pendidikan di perguruan tinggi, memiliki kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Bagi mereka, pintu-pintu perusahaan tradisional biasanya tertutup rapat.

So, perusahaan berbasis aplikasi ini memiliki implikasi sosial yang luas. Memberangus layanan ini sebagaimana diserukan sekelompok orang sama artinya melawan konsumen sendiri dan keniscayaan zaman.

Kita juga memahami kegelisahan para sopir taksi yang berada di bawah naungan “bisnis legal”.  Sudah pasti, dengan segala keunggulan yang diberikan layanan transportasi berbasis aplikasi,  konsumen mereka akan tergerus.

Tidak ada cara lain, para pengelola jasa transportasi itu harus berbenah, menyesuaikan diri dengan zaman. Sederhana saja. Di mana-mana, dalam hal apapun, konsumen selalu  memilih yang terbaik bagi mereka.

Mereka yang gagap

Dunia kita memang sedang berubah dan akan terus berubah. Masalahnya, bukan pada perubahan yang terjadi, tapi soal bagaimana menghadapi perubahan itu. Demo anarkis kemarin setidaknya menegaskan satu hal: perubahan selalu membawa kegagapan.

Para pengusaha bisnis transportasi tergagap-gagap menghadapi perkembangan teknologi yang berjalan begitu cepat. Mereka tidak bergegas untuk beradaptasi.

Layanan jasa berbasis aplikasi tidak datang tiba-tiba. Nadiem Makarim merintis Gojek sejak tahun 2011. Nadim melihat peluang, sementara para pelaku bisnis tradisional tidak.

Untuk mengatasi kegagapan ini, tidak ada cara lain, para pengelola bisnis transportasi tradisional harus berubah. Mereka harus mendekatkan diri mereka kepada konsumen melalui teknologi. Berinovasilah. Perilaku konsumenmu berubah.

Kegagapan ini umum terjadi di segala bidang usaha yang bisnisnya terkoyak-koyak oleh interet. Di bidang media, kita mendengar kabar soal tutupnya sejumlah koran, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia. Para pelaku bisnis media pun dituntut berubah menyesuaikan cara mereka mengelola usaha agar tidak tenggelam oleh senjakala.

Di industri retail, kita melihat pertumbuhan yang masif di bidang e-commerce dalam beberapa tahun belakangan ini. Toko online merebak. Ada Lazada, Olx, Bukalapak, you name it.

Trafiknya terus meningkat. Para pemodal dari luar berbondong-bondong menanamkan duitnya di Indonesia. Dalam soal belanja, perilaku kita memang sudah berubah.

Selain pelaku usaha, pemerintah pun gagap menghadapi perkembangan teknologi yang demikian cepat ini. Indonesia mengalami kekosongan dalam mengelola bisnis yang satu ini. Belum ada regulasi yang mengatur.

Beberapa orang lantas menyebutnya bisnis ilegal. Tidak salah.Wong, memang tidak ada regulasinya. Tapi, manfaatnya besar bagi publik. Aspek yuridis semata tidak selayaknya mengalahkan azas manfaat.

Betul, secara sederhana bisa saja ditegaskan bahwa semua layanan transportasi dikembalikan ke UU soal Transportasi Umum, seperti yang disampaikan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Namun, undang-undang yang ada kiranya belum mengakomodir dimensi sosial ekonomi kolaboratif yang menjadi karakter di era digital saat ini.

Kita mendukung dan menanti pemerintah untuk segera merumuskan kebijakan soal layanan jasa tranportasi berbasis aplikasi.

—————————-

Istilah-istilah yang perlu dipahami:

Sharing economy (ekonomi kolaboratif)

Demikian, semoga bermanfaat.

Salam,

WBS

Posted in Ah... Indonesia ku, HUMANIORA, Kualitas Bangsa, Perubahan Sosial, Uncategorized | Leave a Comment »

Artikulasi Sifat Buruk 01: Jokowi dan Si Sirik

Posted by wahyuancol pada November14, 2014

Transisi pemimpin di Indonesia dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Presiden Joko Widodo di tahun 2014 memberikan pelajaran yang menarik. Membaca tulisan dari Jodhi Yudono yang berjudul “Joko Widodo dan Si Sirik” itu membuat saya teringat kembali akan karakter orang Indonesia yang pernah dikemukakan oleh Muchtar Lubis tahun 1977. Tulisan itu memberikan gambaran bahwa apa yang terjadi pada masa transisi pemimpin kali ini mengartikulasikan salah satu sifat buruk bangsa Indonesia. Mungkin ini artikulasi dari salah satu sifat buruk manusia Indonesia yang dikemukakan Muchtar Lubis, yaitu dengki. Memang mungkin ini sifat dari sebagian yang sangat kecil dari orang Indonesia yang jumlahnya 240 juta jiwa, tetapi gaungnya sangat nyaring di zaman sekarang dimana informasi dapat tersebar sangat cepat dan sangat luas melalui dunia maya atau internet, dan dapat mempengaruhi opini banyak orang.

Inilah tulisan itu selengkapnya yang saya kutip dari Kompas.com.

————————————————

Dahulu, ketika saya masih kanak-kanak, ada komik di majalah Bobo yang saya gemari. Judulnya “Juwita dan Siti Sirik” yang kemudian berganti judul menjadi “Juwita dan Si Sirik”.

Di komik tersebut digambarkan, Juwita adalah sosok perempuan jelita yang baik hati dan suka menolong. Sementara itu, Si Sirik digambarkan sebagai perempuan tua buruk rupa yang jahil, selalu mengenakan topi lancip, hidung bengkok, muka peot-peot, dan senyum mencong seperti habis kena stroke.

Si Sirik yang jahil dan jahat akan berhadapan dengan Juwita yang penolong. Pada tiap akhir cerita, Juwita yang mewakili kebaikan muncul sebagai pemenangnya.

Nah, menyaksikan dan mengamati kunjungan Presiden Joko Widodo di Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) 2014, yang menjadi primadona di forum tersebut, serta komentar negatif dari sebagian orang yang itu-itu juga di Tanah Air, langsung mengingatkan saya pada komik “Juwita dan Si Sirik” itu.

Sebab, komentar-komentar nyelekit kepada Joko Widodo bukan hanya saat acara APEC ini saja, melainkan juga semenjak ia mencalonkan menjadi presiden hingga telah menjadi presiden. Seolah, komentar miring selalu memburu Jokowi di mana pun dia berada dan apa pun yang dia kerjakan. Pendeknya, maju kena mundur kena.

Para pendukung Jokowi menduga, mereka yang bersikap nyinyir adalah mantan para pendukung Prabowo. Mengapa disebut mantan? Sebab, orang yang mereka dukung sekarang sudah move on, sudah berubah dari semula berseberangan, sekarang secara pribadi Prabowo mendukung pemerintahan Joko Widodo, terbukti dengan kedatangan beliau saat Joko Widodo dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober silam. Selain itu, Prabowo juga telah meminta kepada pendukungnya untuk tidak menyakiti pihak lain, seperti bunyi surat Prabowo seusai bertemu Jokowi menjelang pelantikan presiden.

“Saya mohon semua pendukung saya untuk memahami hal ini. Saya mengerti sebagian dari Saudara-saudara belum bisa menerima sikap saya. Tetapi, percayalah, seorang pendekar, seorang kesatria harus tegar, harus selalu memilih jalan yang baik, jalan yang benar. Menghindari kekerasan sedapat mungkin. Menjauhi permusuhan dan kebencian.”

Karena mereka selalu memandang dari sisi yang buruk terhadap sepak terjang Joko Widodo, sebut saja mereka “Si Sirik”.

Mereka, yang oleh para pendukung Jokowi disebut sebagai “Si Sirik” atau “Si Nyinyir”, pada momen APEC ini menyoroti dua hal. Pertama, pidato Jokowi yang menggunakan bahasa Indonesia. Kedua, karena dalam lawatannya, Presiden membawa serta istri dan anak.

Untuk kenyinyiran pertama, Si Sirik menuduh bahwa Joko Widodo bersembunyi di balik konstitusi yang memerintahkan Presiden RI harus menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, menurut Si Sirik, Joko Widodo tidak fasih dalam berbahasa Inggris.

Hal ini bermula dari peringatan pakar hukum Hikmanto yang mengatakan, UU mewajibkan Presiden menggunakan bahasa Indonesia agar bahasa Indonesia dikenal oleh dunia dan semakin kuatnya jati diri bangsa Indonesia. Ini berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

Pasal 28 menyebutkan, “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi presiden, wakil presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri“.

Seseorang yang menyebut dirinya Sarkawi lantas berkomentar, “Sekarang banyak intelektual yang menjual kepandaiannya untuk melegitimasi kekurangan orang. Pidato saja coba direkayasa supaya citra tetap baik. Kalau gak fasih bahasa Inggris bilang apa adanya, toh tiada dosa bagimu.”

Hal pertama ini sudah dipatahkan oleh Joko Widodo yang menyampaikan presentasi dalam bahasa Inggris di depan kalangan CEO pada hari pertama APEC. Namun, tetap saja ada komentar miring mengenai peristiwa tersebut, seperti yang ditulis oleh seorang kawan di media sosial.

Pujian Presiden East-West Center, Charles E Morisson, bahwa Jokowi berpidato dalam bahasa Inggris sederhana sangat bersayap. Sebab, dua keponakan saya (satu kuliah, satunya lagi masih SMA) yang kebetulan kursus di LIA justru berkata sebaliknya, “Aduuuh bahasa Inggris Jokowi sangat memalukan, kita yang dengernya saja ikut malu sendiri,” kata mereka.

Ya, ya, para kritikus itu seperti menutup mata dan hati meski melihat dan mendengar fakta yang ada. Padahal, menurut berita, Jokowi telah membuka hari pertama APEC 2014 dengan presentasi yang elok di hadapan sejumlah pemimpin perusahaan.

Jokowi tampak dalam beberapa foto dilansir oleh kantor berita AFP, Senin (10/11), terlihat mengenakan setelan jas resmi dengan dasi berwarna merah.

Pada video yang diunggah di YouTube juga tampak betapa Jokowi berbicara dalam bahasa Inggris dengan lancar dan tidak memerlukan teks. Tuturannya mengalir, memperkenalkan Indonesia sebagai negara yang terbuka dan aman untuk berinvestasi.

Yang mengejutkan, sehabis pidato, Presiden Joko Widodo menjadi “magnet” bagi para pemimpin perusahan dunia, yang tengah menghadiri puncak Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Beijing, Tiongkok, Senin 10 November 2014.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini langsung menjadi buruan para CEO yang ingin berkenalan dengannya. Mereka semua berebut berjabat tangan dan foto bersama Jokowi.

Tak cuma itu, akun resmi Twitter APEC CEO Summit 2014 mengunggah foto ketika Jokowi tengah dikerubungi para CEO. Mereka mengaku terkesima dengan presentasi yang disampaikan Jokowi.

Saat di dalam negeri dicemooh oleh sebagian orang, di forum dunia, Joko Widodo justru dihormati sedemikian rupa. Jokowi bersama Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama dan Presiden China Xi Jinping bakal menjadi tiga pembicara utama di perhelatan itu.

Hal kedua adalah keikutsertaan putri Joko Widodo, Kahiyang Ayu, dalam rombongan, yang dinilai bagian dari pemborosan dan menyalahi aturan. Ada juga yang menyitir pernyataan Ketua KPK Abraham Samad yang mengatakan, “Ketika sedang bertugas ke luar kota dan ingin membawa istrinya, maka fasilitas yang didapatkan seperti tiket pesawat dan kamar hotel tidak boleh dirasakan istrinya juga.”

Tentu saja, pernyataan Abraham bisa langsung dipatahkan jika diterapkan kepada presiden. Sebab, kunjungan presiden dan wakil presiden bersama isteri ada tertera pada Peraturan Menteri Sekretaris Negara Nomor 8 Tahun 2007 tentang Petunjuk Standar Pelayanan Penyiapan Perjalanan Kunjungan Kerja Presiden, Wakil Presiden, dan/atau Istri/Suami Wakil Presiden ke Luar Negeri.

Sementara itu, mengenai ikut sertanya Kahiyang Ayu dalam rangka kunjungan ke luar negeri, menurut Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, tak ada aturan yang melarang hal ini. Sebab, seorang presiden diperbolehkan untuk membawa serta keluarganya.

“Secara protokoler, presiden bisa mengajak anggota keluarga kalau ada acara-acara lepas. Presiden bisa membawa ibu egara dan keluarga bisa diperkenankan diajak,” kata Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto saat ditemui seusai makan malam di Hotel Kempinski, Beijing, Sabtu (8/11/2014).

Menurut Andi, Jokowi sebetulnya bisa membawa tiga anaknya. Namun, rupanya hanya Kahiyang yang bisa. Itu pun untuk menemani sang ibunda tercinta, Iriana.

Karena itu, Andi merasa kehadiran Kahiyang tidak perlu dipersoalkan. Terlebih lagi, dalam rombongan Jokowi kali ini, dilakukan perampingan besar-besaran.

“Secara aturan tidak ada yang salah,” jawabnya.

Hmmm, untunglah Presiden Joko Widodo terkenal sebagai penyabar dan murah senyum. Hantaman dan fitnahan yang diterimanya jangan-jangan adalah cara Tuhan untuk menguatkan dirinya sebagai seorang tokoh terkemuka negeri ini, saat ini.

Sementara itu, bagi para pengkritik, bisa jadi mereka memahaminya sebagai bagian dari demokrasi, di mana setiap orang memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat. Tapi, bukankah kritik yang sehat harus juga berdasar pada fakta dan juga akal sehat? Jika semua tindakan menjadi bahan kritikan, tentu akan muncul kesan bahwa si pengkritik itu sebagai Si Sirik yang penuh prasangka.

Padahal, semua agama mengajarkan agar kita menjauhi prasangka (kecurigaan) karena sebagian dari prasangka itu dosa. Bukankah kita juga diperintahkan agar jangan mencari-cari keburukan orang dan jangan bergunjing satu sama lain?

Lebih dari itu semua, bukankah kita saudara sebangsa yang seharusnya saling menguatkan?

Tabik!

—————————————————-

Demikianlah salah satu sifat buruk manusia Indonesia yang terartikulasi melalui proses pergantian presiden kali ini.

Sifat-sifat buruk yang lain juga terungkap dari Pemilu 2014 dan telah dipotret oleh Rhenald Kasali.

Salam,

WBS

Posted in Ah... Indonesia ku, HUMANIORA, Kualitas Bangsa | Dengan kaitkata: , , , , , , , | Leave a Comment »

Metakognisi

Posted by wahyuancol pada November3, 2014

Sejak menjadi Menteri, Ibu Susi Pudjiastuti menarik perhatian banyak pihak. Salah satu hal yang menjadi perhatian publik adalah karena ia hanya seorang yang berijazah SMP, dan tidak menyelsaikan pendidikan SMA.

Pagi ini saya membaca sebuah tulisan yang menarik berkaitan dengan Ibu menteri itu yang ditulis oleh Prof. Rhenald Kasali. Tulisan itu adalah tentang metakognisi, yaitu hal yang tidak berkaitan dengan pendidikan formal yang menentukan kesuksesan banyak orang besar. Setelah membaca tulisan itu, saya bisa menilai diri saya sendiri, dan mengetahui di mana posisi saya. Kemudian saya berpikir, mungkin orang lain yang membaca tulisan itu juga akan dapat mengambil pelajaran dari tulisan itu.

Berikut ini adalah tulisan yang saya maksud itu. Teks tulisan itu saya kutip semuanya seperti yang dipublikasikan di kolom Ekonomi / Inspirasi dari kompas.com. Yang tidak saya kutip hanya foto-foto dari tiga orang yang dijadikan teladan di dalam tulisan itu.

—————————————

Moeryati Soedibyo, Dian Sastro dan Metakognisi Susi Pudjiastuti

Saya kebetulan mentor bagi dua orang ini: Dian Sastro dan Mooryati Soedibyo. Tetapi pada Susi Pujiastuti, yang kini menjadi menteri, saya justru belajar.

Ketiganya perempuan hebat. Tetapi selalu diuji oleh sebagian kecil orang yang mengaku pandai. Entah ini stereotyping, atau soal buruknya metakognisi bangsa. Saya kurang tahu persis.

Moeryati Soedibyo

Sewaktu diterima di program doktoral UI yang pernah saya pimpin, usianya saat itu sudah 75 tahun.  Namun berbeda dengan mahasiswa lain yang datang pakai jeans, dia selalu berkebaya. Dan Anda tentu tahu berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkebaya, bukan?

Tetapi ia memiliki hal yang tak dimiliki orang lain: self discipline. Sampai hari ini dia adalah satu-satunya mahasiswa saya yang tak pernah absen barang sehari pun. Padahal saat itu ia salah satu pimpinan MPR.

Memang ia tampak sedikit kewalahan “bersaing” dengan rekan kuliahnya yang jauh lebih muda. Tetapi rekan-rekan kuliahnya mengakui,  kemajuannya cepat. Dari bahasa jamu ke bahasa strategic management dan science yang banyak aturannya.

Teman-teman belajarnya bersaksi: “Pukul 8 malam kami yang memimpin diskusi. Tetapi pukul 24.00, yang muda mulai ngantuk, Ibu Moor yang memimpin. Dia selalu mengingatkan tugas harus selesai dan tak boleh asal jadi.”

Masalahnya, ia pemilik perusahaan besar, dan usianya sudah lanjut. Ada Stereotyping dalam kepala sebagian orang, sosok seperti ini jarang ada yang mau kuliah sungguhan untuk meraih ilmu. Nyatanya, kalangan berduit lebih senang meraih gelar Doktor HC (Honoris Causa) yang jalurnya cukup ringan.

Tetapi Mooryati tak memilih jalur itu. Ia ingin melatih kesehatan otaknya, mengambil risiko dan lulus 4 tahun kemudian. Hasil penelitiannya menarik perhatian Richard D’aveni  (Tuck School-USA), satu dari 50 guru strategi teratas duniia. Belakangan ia juga sering diminta memaparkan kajian risetnya di Amerika Serikat, Belanda, dan Jerman.

Meski diuji di bawah guru besar terkemuka Prof. Dorodjatun Kuntjoro Jakti, kadang saya masih mendengar ucapan-ucapan miring dari orang-orang yang biasa menggunakan kacamata buram yang lidahnya pahit. Ada saja orang yang mengatakan ia “diluluskan” dengan bantuan, “sekolahnya hanya dua tahun” dan seterusnya. Dan anehnya, kabar itu justru beredar di kalangan perempuan yang tak mau tahu keteladanan yang ia tunjukkan. Kadang ada juga yang merasa lebih tahu dari apa yang sebenarnya terjadi.

Tetapi ada satu hal yang mereka sulit menyangkal. Perempuan yang meraih doktor di usia 79 tahun ini, berhasil mewujudkan usahanya menjadi besar tanpa fasilitas. Perusahaannya juga go public. Padahal yang menjadi dosennya saja belum tentu bisa melakukan hal itu. Bahkan membuat publikasi ilmiah internasional saja tidak.  Namun bu Moor juga berhasil mengangkat reputasi jamu di pentas dunia.

Dian Sastro

Ini juga mahasiswi saya yang keren. Sewaktu diterima di program S2 UI, banyak juga yang bertanya: Apa benar artis mau bersusah payah belajar lagi di UI?

Anak-anak saya di UI tahu persis bahwa saya memang cenderung bersahabat, tetapi mereka juga tahu sikap saya:no bargain on process and quality.”

Dian, sudah artis, saat mulai kuliah sedang hamil pula. Urusannya banyak: keluarga, film dan seabrek tugas. Tetapi lagi-lagi, satu hal ini jarang dimiliki yang lainnya: self discipline. Ia tak pernah abai menjalankan tugas.

Sebulan yang lalu setelah lulus dengan cum laudedari MM UI, ia berbagi pengalaman hidupnya di program S1 pada kelas yang saya asuh.

“Saat ayah saya meninggal dunia, ibu saya berujar: kamu bukan anak orang kaya. Ibu tak bisa menyekolahkan, kalau kamu tidak outstanding,” ujarnya.

Ia pun melakukan riset terhadap putri-putri terkenal. Di situ ia melihat nama-nama besar yang tak lahir dari kemudahan. “Saya tidak cantik, dan tak punya apa-apa,” ujarnya.

Dengan uang sumbangan dari para pelayat ayahnya, ia belajar di sebuah sekolah kepribadian. Setiap pagi ia juga melatih disiplin,jogging berkilo-kilometer dari Jatinegara hingga ke Cawang, ikut seni bela diri. “Mungkin kalian tak percaya karena tak pernah menjalaninya ,” ujarnya.

Itulah mental kejuangan, yang kini disebut ekonom James Heckman sebagai kemampuan nonkognisi. Dian lulus cum laudedari S2 UI, dari ilmu keuangan pula yang sarat matematikanya. Padahal bidang studi S1-nya amat berjauhan: filsafat.

Metakognisi Susi

Sekarang kita bahas menteri kelautan dan perikanan yang ramai diolok-olok karena “sekolahnya”. Beruntung, banyak juga yang membelanya.

Khusus terhadap Susi, saya bukanlah mentornya. Ia terlalu hebat. Justru sering saya undang memberi kuliah. Dia adalah self driver sejati, yang bukan putus sekolah melainkan berhenti secara sadar. Sampai di sini saya ingin mengajak Anda merenung, adakah di antara kita yang punya kesadaran dan keberanian sekuat itu?

Tetapi berbeda dengan kebanyakan orangtua yang membiarkan anaknya menjadipassenger, ayah Susi justru marah besar. Di usia muda, di pesisir selatan yang terik, Susi  memaksa hidup mandiri. Ditemani sopir, Ia menyewa truk dari Pangandaran, membawa ikan dan udang, di lelang di Jakarta. Itu dijalaninya bertahun-tahun, seorang diri.

Saat saya mengirim mahasiswa pergi “melihat pasar” ke luar negeri tiga orang satu negara, Susi membujuk saya agar cukup satu orang satu negara. Dan saya menurutinya (Kisah mereka bisa di baca dalam buku: 30 Paspor di Kelas sang Profesor).

Dari usaha perikanannya itu ia jadi mengerti penderitaan yang dialami nelayan. Ia juga belajar seluk beluk logistik  ikan, menjadi eksportir, sampai terbentuk keinginan memiliki pesawat agar ikan tangkapan nelayan bisa diekspor dalam bentuk  hidup yang nilainya lebih tinggi. Dari ikan jadilah bisnis carter pesawat yang dibawahnya ada storage untuk membawa ikan segar.

Dari Susi, kita bisa belajar bahwa kehidupan tak bisa hanya di bangun dari hal-hal kognitif semata yang hanya bisa didapat dari bangku sekolah. Kita memang membutuhkan matematika dan fisika untuk memecahkan rahasia alam. Kita juga butuh ilmu-ilmu baru yang basisnya adalah kognisi. Tetapi tanpa kemampuan nonkognisi semua sia-sia.

Ilmu nonkognisi itu belakangan naik kelas, menjadi metakognisi: faktor pembentuk yang paling penting di balik lahirnya ilmuwan-ilmuwan besar, wirausaha kelas dunia dan praktisi-praktisi handal. Kemampuan bergerak, berinisiatif, self discipline, menahan diri, fokus, respek, berhubungan baik dengan orang lain, tahu membedakan kebenaran dengan pembenaran, mampu membuka dan mencari “pintu”, adalah fondasi penting bagi pembaharuan, dan kehidupan yang  produktif.

Manusia itu belajar untuk membuat diri dan bangsanya tangguh, bijak mengatasi masalah, mampu mengambil keputusan, bisa membuat kehidupan kebih produktif dan penuh kedamaian. Kalau cuma bisa membuat keonaran dan adu pandai saja kita belum tuntas mengurai persepsi, baru sekedar mampu mendengar, tapi belum bisa menguji kebenaran dengan bijak dan mengembangkannya ke dalam tindakan yang produktif.

Ketiga orang itu mungkin tak sehebat Anda yang senang melihat kecerdasan orang dari pendekatan kognitif yang bermuara pada angka, teori, ijazah dan stereotyping. Tetapi saya harus mengatakan, studi-studi terbaru menemukan, ketidakmampuan meredam rasa tidak suka atau kecemburuan pada orang lain, kegemaran menyebarkan fitnah dan rasa benar sendiri, hanya akan menghasilkan kesombongan diri.

Anak-anak kita pada akhirnya belajar dari kita, dan apa yang kita ucapkan dalam kesaharian kita juga akan membentuk mereka, dan masa depan mereka.

Prof Rhenald Kasali adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

—————————————–

Demikian apa yang saya baca pagi ini. Semoga bermanfaat bagi yang membacanya.

Salam,

WBS

Posted in Ah... Indonesia ku, GLOSARIUM, HUMANIORA, Kualitas Bangsa, M | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a Comment »

Jembatan Kuning di Muara Dua

Posted by wahyuancol pada Oktober20, 2014

Ketika Indonesia mendapat presiden yang baru, Joko Widodo menggantikan Susilo Bambang Yudoyono

Sampai hari Jum’at tanggal 17 Oktober 2014 siang ketika mengendarai mobil melewati Kotabumi saya belum membayangkan kalau sore harinya akan sampai di Muara Dua. Ketika itu saya dan saudara-saudara yang tinggal di Bandar Lampung dalam perjalanan untuk menghadiri acara pernikahan seorang keponakan. Sampai di pagi hari keberangkatan itu saya hanya diberitahukan kalau keponakan saya itu akan menikah di Palembang, sehingga yang terbayang di kepala adalah bahwa saya akan mengunjungi Palembang. Lumayan ada kesempatan mengenal lebih jauh kota tersebut. Saya sebelumnya telah mengunjungi Palembang sebanyak tiga kali, tetapi semuanya hanya melintas di malam hari, sehingga saya tidak memiliki gambaran yang cukup tentang Palembang.

Kemana arah perjalanan di hari itu menjadi jelas ketika perjalanan mendekati Bukit Kemuning. Ketika itu saya meminta salah seorang keponakan yang berjalan bersama saya untuk menanyakan kemana arah perjalanan kepada keponakan yang lain yang telah lebih dahulu berangkat sehari sebelumnya. Jawaban yang diperoleh adalah “setelah sampai Bukit Kemuning, belok ke arah Way Kanan, sesampai di Way Kanan lalu belok ke Martapura, dan sesampai di Martapura kemudian belok kiri ke arah Muara Dua”. Saat itulah arah perjalanan menjadi jelas bagi saya, bahwa kami bukan ke Palembang, melainkan ke Muara Dua.

Kami berangkat meninggalkan rumah di Bandar Lampung sekitar jam 9 pagi. Ada beberapa urusan yang perlu diselesaikan sebelum bisa berangkat meninggalkan kota itu. Sekitar jam 10 kami baru bisa meninggalkan kota dan sampai di Muara Dua menjelang maghrib. Lama perjalanan sekitar 8 jam kartena kami sempat berhenti beberapa kali untuk isi bahan bakar, shalat Jum’at, makan siang dan berhenti karena cucu saya yang masih balita muntah. Secara umum perjalanan lancar. Kondisi jalan secara umum baik meskipun ada yang rusak di beberapa bagian. Untuk rombangan kami, oleh calon besan telah disediakan sebuah rumah sebagai tempat transit selama acara pernikahan. Agar dapat istirahat yang cukup setelah seharian menyopiri mobil, saya minta izin untuk menginap di hotel yang lokasinya sekitar 100 meter dari tempat resepsi pernikahan dilaksanakan. Hotel itu, Hotel Samudera.

Saya masuk ke hotel itu di malam hari dan langsung tidur karena lelah. Di pagi hari saya berkeliling di kawasan hotel yang cukup luas. Saya ingin tahu bagaimana kondisi hotel itu karena ketika masuk saya melihat beberapa kamar dari kelas yang sama tetapi kondisinya berbeda, dan ingin tahu apa yang sedang berlangsung di hotel itu karena ketika malam banyak sekali orang saya lihat beraktifitas di bagian selatan hotel. Hotel itu sedang direnovasi, tetapi nampaknya kegiatan renovasi sedang terhenti; karena hanya terlihat besi-besi yang telah terikat untuk konstruksi dan tidak terlihat bekas-bekas kegiatan tukang yang baru.

Di bagian selatan hotel saya lihat ada rumah yang bagus di atas rata-rata rumah masyarakat umum dengan penjagaan dan tiang bendera di depannya. Di sebelah timurlaut rumah itu ada semacam pendopo. Ketika saya mendekat, bendera merah putih sedang dikibarkan. Saya bertanya kepada orang yang mengibarkan bendera itu. “Ada acara apa di hotel ini?”. “Tidak ada acara apa-apa, itu adalah tempat menerima tamu. Ini adalah Rumah Dinas Bupati”, jawab orang itu.

Rasa ingin tahu tentang hubungan hotel dan rumah dinas itu muncul, dan selanjutnya saya bertanya, “hotel ini milik Pemda Muara Dua?”. “Bukan”, jawabnya, “hotel milik Bupati”. Saya belum puas mengenai hubungan hotel dan rumah dinas itu, tetapi tidak mungkin bertanya lebih detil. Rasa ingin tahu saya ternyata kemudian terjawab ketika saya ngobrol di lokasi resepsi pernikahan. “Bupati kita ini memang orang yang memiliki banyak uang sebelum menjadi bupati”, orang yang saya ajak bicara menjelaskan. Lalu dijelaskan lagi, “Dia memilih rumahnya sebagai rumah dinas, sedang Rumah Dinas Bupati yang sebenarnya dipakai oleh Wakil Bupati”.

Setelah berkeliling di kawasan hotel, saya berjalan kaki ke arah sebuah jembatan besi yang membentang di atas Sungai Komering, dengan tujuan ingin mengetahui kondisi sungai yang ketika datang hanya dapat saya lihat sekilas. Ketika saya berjalan ke arah jembatan matahari telah melewati pucuk-pucuk daun dari pohon-pohon yang tumbuh di perbukitan di sebelah timur Muara Dua. Sesampai di jembatan besi itu, saya dibuat kagum dengan keindahan pemandangan Jembatan Kuning yang berada di sebelah barat Jembatan Besi ini. Ketika kemarin sore saya sampai di Muara Dua, sebenarnya saya telah melihat jembatan itu, tetapi menjelang manghrib pemandangannya biasa saja. Tentang Jembatan Kuning ini, saya mendapat penjelasan bahwa dahulu jembatan itu buatan Belanda, kemudian ketika diperbaiki jembatan dibuat oleh orang Italia. Karena jembatan yang lama warnanya kuning dan sudah dinamakan Jembatan Kuning, maka jembatan yang baru itu juga diberi warna kuning.

Jembatan Kuning di Muara Dua. Jembatan ini melintang di atas Sungai Komering di Muara Dua. 18 Oktober 2014, pagi. Di foto menghadap ke barat, dari Jembatan Besi Selabung.

Jembatan ini dibuat dengan konstruksi baja menggantung. Di bagian tengah bentang jembatan terdapat semacam “sayap” tempat orang bisa berdiri menikmati pemandangan sungai dengan tidak mengganggu lalu lintas di atas jembatan itu. Di kala sore, banyak orang datang ke jembatan itu menikmati pemandangan Sungai Komering.

Melihat pemandangan yang indah Jembatan Kuning tersebut, saya membayangkan alangkah indahnya pemandangan di kawasan itu apabila kedua sisi sungai itu diatur dengan baik. Mari kita lihat gambar di bawah ini dan membayangkan andaikata rumah-rumah di sisi sungai itu dibuat menghadap ke sungai dan sungai itu menjadi pekarangan depan rumah.

IMG_8431 Sisi utara Sungai Komering

Jembatan Kuning dan sisi utara Sungai Komering. 18 Oktober 2014, pagi. Dari Jembatan Besi

 

IMG_8432 Sisi selatan Sungai Komering

Jembatan Kuning dan sisi selatan Sungai Komering. 18 Oktober 2014, pagi. Dari Jembatan Besi

Sungai Komering dimanfatkan oleh penduduk setempat untuk mandi dan mencuci. Apa perbedaan pola pemanfaatan sungai antara pagi dan siang hari.

IMG_8434 Aktifitas Pagi

Aktifitas pagi di Sungai Komering di Muara Dua. 18 Oktober 2014. Dari Jembatan Besi.

 

IMG_8456 Aktifitas Sore

Aktifitas sore hari di Sungai Komering di Muara Dua. 18 Oktober 2014. Foto dari Jembatan Besi menghadap ke timur.

 

IMG_8472 Aktifitas Sore

Aktifitas sore di Sungai Komering. 19 Oktober 2014. Foto dari Jembatan Kuning ke arah barat.

IMG_8474 Aktifitas Sore

Aktifitas sore di Sungai Komering. 19 Oktober 2014. Foto dari Jembatan Kuning ke arah barat.

 

IMG_8481 Sore di Jembatan Besi

Sore hari di Jembatan Besi Selabung, Muara Dua. 19 Oktober 2014. Foto dari utara menghadap ke selatan. Masyarakat berhennti di atas jembatan untuk menikmati pemandangan Sungai Komering.

Mengamati cara penduduk setempat memanfaatkan aliran sungai, terbetik di dalam kepala tentang bagaimana kualitas air Sungai Komering itu.

Sungai Komering mendapatkan aliran air yang utama dari Danau Ranau. Secara administrasi danau ini terbagi menjadi dua, sebagian masuk wilayah administrasi Propinsi Lampung dan sebagian lainnya masuk Propinsi Sumatera Selatan. Dari Muara Dua dibutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk mencapai Danau Ranau dengan mobil. Melalui jaluir ini pula kota Liwa yang berada di Propinsi Lampung dapat dijangkau. Dari Liwa, kita bisa memilih jalan untuk kembali ke Bandar Lampung, mau lewat Bukit Kemuning di jalur tengah, atau Krui di jalur pantai barat Pulau Sumatera.

—————————————–

Melanjutkan cerita jalan-jalan pagi tadi. Dari Jembatan Besi Selabung saya berjalan ke arah kanan, ke arah kedatangan kami kemarin sore. Saya melewati deretan pertokoan Pasar Ulu. Terus berjalan sambil melihat-lihat. Di sepanjang jalan di depan pertokoan saya lihat banyak tahi burung di bawah jalur kabel listrik yang menggantung. Saya terus berjalan melewati tiga blok pertokoan dan kemudian belok ke sebuah taman kota.

Taman itu bersih. Di tengah taman ada sebuah tugu yang di atasnya ada patung burung walet atau seriti. Terletak di depan Mesjid Besar. Nama mesjid ini tidak saya ketahui karena huruf-huruf di papan namanya sebagian telai tiada. Ketika mesjid itu akan saya foto, kamera SLR Digital yang saya bawa macet. Karena kamera macet, saya memutuskan untuk kembali ke hotel tempat saya menginap. Sebelum kamera saya macet, saya sempat membuat beberapa foto mengenai taman itu di pagi hari. Acara pagi hari saya di Muara Dua tanggal 18 Oktober 2014 berakhir di taman kota ini.

IMG_8446 Taman Walet Muara Dua

Taman kota di Muara Dua. 18 Oktober 2014 pagi. Foto dari arah Mesjid Besar Muara Dua ke arah barat.

 

IMG_8445 Patung Walet

Patung Walet di puncak tugu di tengah taman kota Muara Dua. 18 Oktober 2014.

—————————

Sesampai di hotel saya beristirahat sambil mencoba mencari tahu penyebab mengapa kamera saya macet. Tidak berhasil, dan kamera masih macet. Tiba-tiba listrik di kamar hotel padam. Saya berjalan ke luar kamar dan menemui pegawai hotel menanyakan tentang listrik yang padam. Saya memperoleh jawaban, “Mungkin PLN sedang melakukan perbaikan jaringan listrik yang tertimpa pohon, biasanya sampai sore”. Setelah memberikan jawaban itu, tak lama kemudian dia menambahkan. “Di sini listrik mati biasa pak. Kalau dalam waktu satu minggu listrik tidak mati, orang-orang malah bertanya mengapa heran”. Kemudian ditambahkan lagi, “kalau sampai jam 17.30 nanti masih mati listrik, kita menyalakan generator listrik”.

Dengan situasi seperti itu, saya hanya diam. Tidak protes, karena saya pikir tidak ada gunanya. Ketika saya berjalan-jalan di jalan-jalan kota menuju ke pasar tradisional di lokasi yang baru, saya melihat toko-toko yang membutuhkan listrik semuanya menyalakan generator listrik. Di hari berikutnya, hari Minggu, kejadian serupa terulang lagi. Sekitar jam 9 pagi listrik padam. Bila listrik padam, maka efek berikutnya yang sangat terasa bagi saya yang biasa tinggal di kota besar di Jawa adalah hilangnya sinyal telpon seluler. Semua operator tidak ada sinyal. Sayangnya saya ketika itu tidak mencari tahu bagaimana pengaruh padamnya aliran listrik seharian terhadap sambungan telpon kabel di Muara Dua.

Sambil berjalan ke arah pasar tradisional itu, pikiran saya mengembara sampai kepada ingatan tentang buku ajar anak sekolah dari Kementerian Pendidikan Nasional yang bisa diperoleh dengan cara download melalui jaringan internet. Tak terbayangkan oleh saya bagaimana daerah-daerah yang bisa mengalami pemadaman listrik seharian seperti di Muara Dua ini dapat mengikuti langkah daerah-daerah lain yang listriknya tidak pernah padam. Saya di Muara Dua hanya hari Sabtu dan Minggu. Entah bagaimana dengan hari-hari lainnya yang merupakan hari kerja atau hari anak sekolah.

Letak pasar tradisonal itu sekitar 1,5 km dari hotel tempat saya menginap. Saya melewati terminal bis tipe B. Jalan-jalan terlihat bersih. Ketika saya berjalan sangat sering pengendara sepeda motor melambatkan laju motornya di dekat saya sambil berkata, “ojek pak?”. Nampaknya jasa ojek menjadi moda angkutan utama di kota itu, karena saya tidak melihat adanya mobil angkutan umum di dalam kota. Ini memang kota kecamatan.

Di depan pasar tradisional ada SPBU Pertamina. Mungkin satu-satunya SPBU di Muara Dua. Dalam perjalan menuju ke Muara Dua di hari Jum’at yang lalu. Di Martapura saya mengisi penuh tangki mobil. Saya katakan kepada keponakan saya, “kita harus mengisi penuh tangki mobil karena kita tidak tahu bagaimana kondisi persediaan BBM di Muara Dua”. Kemudian saya tambahkan, “kalau nanti di Muara Dua tidak ada SPBU atau sedang terjadi kelangkaan BBM, bila tangki penuh sekarang, kita masih bisa bergerak dan keluar dari Muara Dua”.

Di pasar tradisonal itu saya berkeliling. Tidak ada bedanya dengan pasar-pasar tradisional di daerah lain di Indonesia. Tidak ada yang istimewa di pasar itu. Saya hanya membeli pisang dan mangga. Juga membeli sebilah pisau dapur, karena teringat istri saya pernah meminta untuk dibelikan pisau dapur yang baru. Penjual pisau itu seorang ibu-ibu setengah baya. Ketika saya tanyakan pisau ini buatan mana, “pisau ini buatan Palembang”, jawabnya. Kemudian ibu penjual itu menambahkan, “di daerah ini tidak ada produksi apapun. Hanya ada …….(saya lupa dua hasil perkebunan di Muara Dua yang disebutkan ibu itu)”.

——————————-

Sore hari tanggal 18 Oktober 2014 setelah acara Akad Nikah keponakan saya itu selesai. Saya pamit untuk melanjutkan perjalanan saya tadi pagi di kota Muara Dua yang belum selesai. Foto-foto suasana sore hari di Sungai Komering, Jembatan Kuning dan Jembatan Besi Selabung yang telah saya sajikan di depan adalah hasil dari perjalanan sore ini. Karena melihat adanya keramaian di Jembatan Besi Selabung dan Jembatan Kuning di sore hari, maka saya memutuskan untuk kembali ke taman kota, dengan pikiran mungkin di taman itu ramai orang bermain.

Ternyata benar. Taman kota yang ketika pagi tampak sepi dan bersih, ternyata di sore hari sangat ramai dikunjungi warga kota Muara Dua. Taman kota berubah menjadi arena bermain anak-anak seperti terlihat di foto berikut ini.

IMG_8482 Taman Walet Sore

Taman kota Muara Dua ketika sore yang berubah menjadi arana bermain anak-anak. 18 Oktober 2014.

Dari taman kota saya melanjutkan perjalanan ke arah pasar lama yang telah diubah menjadi Taman Budaya. Ketika itu menjelang maghrib. Di pinggir jalan terlihat orang-orang yang bersiap di depan rumahnya untuk menunaikan shalat maghrib di mesjid. Gedung Taman Budaya telah berdiri. Tetapi nampaknya masih dalam proses penyelesaian.

Tidak lama di taman budaya itu, azan maghrib berkumandang. Saya kembali ke Mesjid Besar untuk shalat maghrib. Setelah shalat maghrib saya berjalan pulang ke hotel. Taman kota yang ketika sore menjadi arena bermain anak-anak, telah sepi. Terlihat beberapa orang terlihat membersihkan sampah yang dihasilkan pengunjung taman.

Dalam perjalanan pulang itulah saya memperoleh jawaban tentang tahi burung yang saya lihat tadi pagi. Ternyata di kabel listrik, tembok-tembok, dan pohon-pohon di tepi jalan banyak hinggap burung walet yang tidur di tempat-tempat itu. Saya teringat hal serupa juga ada di Townsville, Australia. Saya mengunjungi kota itu sekitar 10 tahun yang lalu. Bedanya dengan Muara Dua adalah jenis burungnya. Bila di Muara Dua burungnya burung Walet, maka di Townsville, burungnya burung Nuri berkepala hitam.

——————————-

Hari minggu siang jam 12.45, kami kembali ke Bandar Lampung.

Salam,

WBS

Posted in Ah... Indonesia ku, Kualitas Bangsa | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , , , , | Leave a Comment »

Karakter Orang Indonesia 03: menurut Rhenald Kasali

Posted by wahyuancol pada Juli11, 2014

Artikulasi Sifat Buruk 2: Pemilu dan Sifat Buruk Kita

Kita baru menyelesaikan pemilihan presiden yang baru tanggal 9 Juli 2014 yang lalu. Sekarang ini memasuki tahap penghitungan suara. Pemilihan presiden 9 Juli diawali dengan kegiatan kampanye para calon presiden dan wakil presiden. Setelah pemilihan presiden, suasana diwarnai oleh kegiatan Hitung Cepat yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei, dan kemudian dilanjutkan oleh klaim kemenangan oleh kedua belah pihak berdasarkan hasil dari perhitungan cepat oleh lembaga survei yang mereka percaya kebenarannya.

Berbagai hal terjadi ketika kampanye, mulai dari kampanye kreatif hingga kampanye hitam. Sifat-sifat baik dan sifat-sifat buruk bangsa Indonesia muncul kepermukaan. Keadaan ini dipotret oleh Profesor Rhenald Kasali, khususnya yang berkaitan dengan Sifat-sifat Buruk.

Saya telah membaca apa yang ditulis oleh Profersor Rhenald Kasali itu, dan saya menyetujuinya. Oleh karena itu saya rasa ada baiknya bila isi tulisan itu diketahui oleh banyak orang yang menginginkan kebaikan bagi Bangsa Indonesia. Itulah alasan mengapa saya turut menyebarkan pandangan tersebut. Tulisan tersebut saya kutip tanpa modifikasi dari tulisan yang berjudul Pemilu dan Sifat-sifat Buruk Kita (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/07/11/060200626/Pemilu.dan.Sifat-sifat.Buruk.Kita?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp).

Bila kita melihat dari sudut pandang yang lain, kita bisa melihat bahwa Pemilu di tahun 2014 ini membawa berkah bagi bangsa Indonesia, karena memunculkan sifat-sifat buruk yang selama ini terpendam. Dengan mengetahui sifat-sifat buruk itu maka bisa diharapkan sifat-sifat buruk itu dapat diperbaiki.

—————————

Seorang teman yang tahunan tinggal di Berlin tiba-tiba begitu bersemangat ikut mencoblos. Padahal, dulu di Jakarta dia sama sekali tidak pernah menyentuh undangan untuk ikut memilih. “Malas,” katanya.

Sama seperti sebagian besar kita, malas karena banyak alasan. Malas karena lawannya, atau kecurangan yang bakal dihadapinya sudah tak berimbang. Ada calon yang kita sukai, namun lawannya ternyata mempunyai wajah yang lebih cameragenic. Jadi, apalah artinya suara kita, mudah diduga hasilnya. Tak memilih pun tak ada pengaruhnya.

Ada lagi suasana lain, kita sudah yakin jagoan akan menang. Nyatanya kalah juga. Kabarnya, banyak kecurangan yang bisa dilakukan, mulai dari suara yang bisa dibeli, panitia yang bisa diatur, sampai komputer yang bisa dimainkan. Tetapi kini, 16 tahun setelah reformasi, sepertinya kita sudah sama-sama pintar.

Mereka yang dulu menang, dua bulan lalu marah-marah di tivi karena tahun ini kalah dalam pileg. Tapi dengarkanlah kemarahannya, “Saya bukan kalah, tapi dicurangi. Ini kecurangan ada dimana-mana,” ujarnya ketus. Seorang teman yang dulu dikalahkan terkekeh-kekeh mendengar ocehan politisi yang suka bicara seenaknya di tivi itu. “Lha, orang-orang lain belajar curangnya dari mana kalau bukan dari dia?”

Sampai hari ini kita masih banyak mendengar sas-sus tentang aneka kecurangan yang dilakukan berbagai pihak dalam pemilu beberapa tahun lalu. Modusnya amat beragam. Ada yang mengaitkan dengan pembobolan bank, mafia migas, impor bahan-bahan pokok, dan lain sebagainya. Otak kita keruh dipenuhi hal-hal itu.

Tapi mengapa teman saya dan juga tenaga-tenaga kerja kita di luar negeri begitu bersemangat mencoblos? Ia memberikan alasan. “Pertama, saya serem melihat mafia makin bertebaran di Indonesia. Saya takut jago saya kalah,” ujarnya.

“Dan kedua, apa yang mereka lakukan kepada jago saya, adalah cerminan dari apa yang dilakukan orang-orang jahat  terhadap saya. Dan itu adalah cerminan dari sifat-sifat buruk bangsa kita, yang harus dikalahkan,” ujarnya.

 

Seperti apa?

Seperti apakah sifat-sifat buruk itu? Tidak sulit menemukannya karena ia hidup nyata dalam perjalanan karier kita sehari-hari. Bahkan di dunia akademik, ini pun biasa sekali dihadapi banyak orang. Di perusahaan swasta juga makin banyak ditemui. Dalam birokrasi, sifat-sifat buruk itu biasa kita dengar saat menjelang pelantikan pejabat. Orang yang sudah terpilih bisa tak jadi dilantik gara-gara sms atau surat kaleng. Gunjingan negatif justru disebarkan pada orang-orang bagus.

Dalam soal tender, bukan hal baru orang saling sikat dan menjelekkan, bahkan membawa pesaingnya ke ranah hukum, menyebarkan kesalahan kepada wartawan abal-abal yang siap melakukan pemerasan. Sewaktu menjadi pansel KPK, saya juga biasa menerima black campaign yang ditujukan pihak tertentu terhadap calon-calon tertentu. Jangan heran, black campaign tak pernah diarahkan pada kandidat yang lemah.

Di sini kita menjadi biasa melihat kebenaran dijungkir balikkan. Orang yang bersih dituduh korupsi dan sebaliknya. Akademisi pintar dikatakan plagiat, yang plagiat menjadi aktivis antiplagiat. Demikian seterusnya. Kalau kita biarkan, jangankan keluar dari middle income trap, memutuskan siapa yang layak ya menjadi presiden saja kita tak akan mampu.

Lihatlah tak mudah orang mengakui kekalahan, meski itu bagian dari karakter pemenang. Ditambah lagi KPU dan Bawaslu cenderung mendiamkan. Bayangkan di zaman kecepatan dan keakurasian data seperti ini kita harus menunggu sampai tanggal 22. Maksudnya kita dibiarkan ribut terus selama dua minggu?

Yang saya maksud adalah sifat-sifat buruk dalam menghadapi persaingan. Maklum, selama lebih dari 30 tahun kita tidak menghadapi persaingan. Semua jabatan publik adalah pemberian presiden atau atasan. Atasan pun mendapatkannya bukan karena memenangkan persaingan, melainkan karena mendapatkan melalui rekomendasi atau kebaikan budi.

Sifat-sifat buruk itu diawali dengan penghinaan, lalu diikuti dengan fitnah demi fitnah, selebaran gelap, lempar batu sembunyi tangan, mudah terhina, merasa cepat tersinggung, sakit hati, lalu membalas dendam dengan mengirim kebencian. Kita bukan membuat puisi untuk menyatakan kekaguman pada seseorang, melainkan untuk mencacinya. Alih-alih menyampaikan program, sifat-sifat buruk itu justru ditampilkan dengan menjelek-jelekkan calon pemenang. Kita beranggapan akan menjadi terlihat hebat karena mampu menghina orang yang disangka hebat. Kita menjadi termotivasi untuk menang bukan karena kita memiliki sifat-sifat sebagai pemenang, melainkan karena kita tak mampu menerima kekalahan.

Kita berdoa untuk menang karena kita tidak mau mendengar sabda Tuhan. Kita hanya berbicara terus tiada henti agar Tuhan menutup mulut, dan beranggapan hanya kita yang punya hak untuk menjadi pemenang. Padahal hidup ini adalah sebuah keseimbangan, dan dalam setiap kompetisi hanya akan ada satu pemenang, namun tentara sejati tahu persis: terdapat perbedaan antara memenangkan pertempuran dengan memenangkan peperangan.

Dan prajurit sejati akan menjunjung tinggi kehormatannya, tahu dimana medan pertempuran dan siapa yang harus dilindungi. Demokrasi adalah kompetisi untuk merebut suara rakyat, bukan untuk membumihanguskan negeri.

Prilaku seperti ini pernah dibahas Denis Waitley dalam buku Psychology of Winning untuk menjelaskan karakter yang biasa dimiliki para pemenang. Pemenang menjalankan prinsip-prinsip yang membuatnya dihormati, bukan sebaliknya.

Salim Bueno (209) menulis: “Winners train and grain, losers complain. Losers seek attention, while winners earn respect. Losers blame others for their problems, while winners find solution.

Hari-hari lalu kita telah menyaksikan sifat-sifat buruk yang dipertontonkan orang-orang yang katanya bertarung untuk menjadi pemimpin. Ada mantan petinggi di berbagai lembaga yang dulu kita pikir mereka sangat terhormat. Sebagai pendidik, harus saya katakan saya sangat kecewa dan sedih menyaksikan ulah mereka. Apalagi bila membiarkan pihaknya melakukan cara-cara curang, memelintir fakta, menyebarkan kebencian demi kemenangan.

Anak-anak muda, perhatikanlah, itu bukan karakter winners. Mereka menganut azas-azas yang dianut para losers. Apakah mereka bisa menang? Bisa! Bisa saja, tetapi kalau kita ingin membangun bangsa ini menjadi bangsa yang besar, bukan itu caranya. Tengoklah bangsa-bangsa besar. Mereka justru mengadopsi mentalitas pemenang.

Dengarkan pula kata bijak Vince Lombardi berikut ini:“Winning is not a sometime thing; it’s an all time thing. You don’t win once in a while, you don’t do things right once in a while, you do them right all the time. Winning is habit. Unfortunately, so is losing.”(Prof. Rhenald Kasali)

————————-

Artikulasi sifat buruk 1

Semoga bermanfaat.

Salam,

WBS

Posted in Ah... Indonesia ku, HUMANIORA, Kualitas Bangsa | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , | Leave a Comment »