Kepulauan Indonesia

Cerita dari, untuk dan tentang Kepulauan Indonesia beserta Penghuni dan Penduduknya

Archive for the ‘Kualitas Bangsa’ Category

NEGARA PARA KORUPTOR 7 (Resume di Awal Tahun 2011)

Posted by wahyuancol pada Januari8, 2011

Namanya Gayus Halomoan P. Tambunan. Umurnya 30 tahun. Ia hanya seorang Pegawai Negeri Golongan III-a di Direktorat Jenderal Pajak. Tugasnya hanya menjadi penelaah keberatan pajak perorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak. Di “Negara Para Koruptor” ini, pekerjaan itu membuat Gayus menjadi “sakti”. Ia menjadi salah satu pegawai negeri yang terkaya di negeri ini dengan tabungan Rp 25 milyar.

Jamaknya, gaji Pegawai Negeri Sipil golongan IIIA di Direktorat Pajak dengan masa jabatan 0 sampai 10 tahun adalah antara Rp 1.655.800 sampai Rp 1.869.300 per bulan. Kalaupun ada tambahan maka itu berupa tunjangan lain. Dengan memiliki tabungan sebesarRp 25 milyar tentu mengundang tanda tanya. Dari mana asal uang itu?

Kondisi Gayus itu mencuat ke permukaan ketika namanya disebut oleh mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal, Susno Duadji. Sejak itulah Drama Penjungkirbalikan Akal Sehat terjadi di negeri ini.

Apa yang terungkap dari balik drama itu tentang Negeri Para Koruptor ini? Simaklah editorial dari salah satu surat kabar di bawah ini.

—————————-

TIDAK ada lagi kata yang tepat untuk mengungkapkan kejengkelan kita terhadap kelakuan Gayus Tambunan. Dalam status ditahan, Gayus bebas berkeliaran di luar. Tidak cuma pelesiran ke Bali, tapi bisa bolak-balik ke luar negeri menggunakan nama palsu Sony Laksono.

Polisi disogok, hakim disumbat, jaksa disuap, dan terakhir keimigrasian dilumpuhkan.

Kehebatan Gayus melumpuhkan semua institusi penegak hukum di Tanah Air lahir dari kehadiran dia dalam lingkungan mafia pajak. Dengan uang berlimpah dari perannya ‘membantu’ urusan pajak korporasi, dia menjadi raja kecil. Bila si raja teri mampu memorak-porandakan benteng penegak hukum, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kemampuan raja-raja kakap.

Kemampuan raja-raja mafioso menyumbat mulut aparatur yang rakus dan mati rasa dengan uang, itulah yang menyebabkan para mafioso menciptakan kadernya di lingkungan birokrasi. Itulah yang menyebabkan krisis moralitas. Orang baik dan jujur dianggap berbahaya dan harus disingkirkan dengan berbagai cara.

Kalau benteng-benteng keadilan dan kebenaran sudah menjadi organisasi yang bertekuk lutut di hadapan mafioso, matilah penegakan hukum. Sirene bahaya seharusnya dibunyikan dengan lengking dan bertalu-talu.

Kasus Gayus yang amat memalukan haruslah pula dijadikan bukti untuk mengakui bahwa kejahatan, korupsi, dan kebohongan sudah melekat dalam perilaku birokrasi, khususnya lembaga penegak hukum. Argumen bahwa yang jahat itu orang bukan lembaga, semakin hari semakin terbantahkan.

Maaf kepada hakim, polisi, dan jaksa yang baik dan benar yang konon masih ada dan banyak. Tetapi kehebatan dan kejujuran kalian tidak cukup kuat untuk menjadi mainstream antikorupsi.

Kejengkelan terhadap tindakan Gayus hanyalah kejengkelan masyarakat madani. Yang menganggap negara ini dalam bahaya karena krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum hanya hidup dan bergejolak di luar lembaga pemerintahan.

Tidak ada sense of crisis yang meledak di kalangan birokrasi dan para pemangku kekuasaan melihat sepak terjang Gayus. Tidak seperti erupsi Merapi yang menyebabkan para pemimpin berebut kesempatan meneriakkan tanda bahaya. Tidak ada rapat kabinet darurat, misalnya, yang digelar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi kasus Gayus.

Presiden masih berbahasa standar. “Usut tuntas kasus Gayus.” Perintah yang terlalu datar untuk sebuah kasus yang teramat gawat. Kepolisian masih berkata standar juga. “Kami mengumpulkan fakta hukum, yang berkembang tidak secepat dan searah dengan opini dan nurani publik.”

Kendati belum cukup mengobati kerisauan publik, apa yang dilakukan Jaksa Agung Basrief Arif mencopot jaksa di Bojonegoro karena meloloskan joki untuk napi Kasiem memberi contoh tentang sense of crisis.

Kasus Gayus tidak boleh dipagar hanya pada soal jalan-jalan ke Bali dan luar negeri. Yang jauh lebih berbahaya bagi negara adalah kasus mafia pajak yang terbukti melumpuhkan seluruh harkat dan martabat Republik.

Publik jengkel dan mulai capek. Di tengah kehabisan kata-kata mengekspresikan kejengkelan, seorang seniman berteriak lantang tentang negeri para bedebah. Kita semua terbelalak!

—————————-

Melengkapi semua itu adalah kisah penukaran tahanan  dari Bojonegoro.

Di Bojonegoro, Kasiyem yang harus menjalani penjara tujuh bulan melumpuhkan integritas penegak hukum dengan amat murah, Rp32 juta. Dengan uang sebesar itu Kasiyem bisa meminta orang lain untuk menggantikannya masuk bui.

Inilah kisah Kasiyem yang saya sarikan dari Kantor Berita Antara.

Kasiyem (55) asal Desa Kalianyar, Kecamatan Kapas, Bojonegoro, Jawa Timur, adalah pedagang beras yang sering mengirimkan beras ke Bali.

Ia tertarik berdagang pupuk, karena berharap keuntungan lebih besar dibanding jika hanya menjual beras.

Dari berita di media massa, menurut dia, Bupati Bojonegoro Suyoto pernah menyatakan, pupuk luar boleh masuk ke Bojonegoro dan yang dilarang adalah membawa keluar pupuk dari Bojonegoro.

Saat terjadi kelangkaan pupuk, ia memanfaatkan kesempatan meskipun mengaku tidak memiliki Delivery Order (DO).

Dagang pupuk itu pun menyeretnya ke pengadilan pidana hingga ke tingkat kasasi.

Menghadapi keputusan MA, Kasiyem mengaku, tidak terima dan takut kalau harus menjalani hukuman penjara. Dia bilang pedagang pupuk seperti dirinya cukup banyak di Bojonegoro tapi hanya dia yang masuk penjara.

Lalu dicarilah seseorang yang bisa membantunya. Kasiyem akhirnya bertemulah dengan seorang pengacara bernama Hasnomo.

Kasiyem mengungkap, dalam perjanjian itu, Hasnomo sanggup menolong dirinya agar tidak masuk penjara dengan memberi imbalan uang Rp22 juta.”Bagaimana caranya saya tidak tahu,” ujarnya.

Diri mengaku menandatangani berita acara eksekusi di Kantor Kejaksaan Negeri Bojonegoro, tepatnya pada tanggal 27 Desember 2010.

Hanya saja, ketika di depan lapas, dirinya yang semobil dengan staf Kejari bojonegoro, Widodo Priyono, tidak masuk ke lapas. Sebab, Hasnomo sudah membawa joki napi Karni (51), warga Desa Leran, Kecamatan Kalitidu, yang memperoleh imbalan uang Rp10 juta dari Hasnomo.

Hasnomo menemukan Karni lewat seorang perantara yang bernama Angga.”Saya tahu itu keliru,” ucapnya.

Karnipun masuk sel di lapas, setelah menjalani registrasi, dengan cap jempol, buan tanda tangan.

Masuknya joki napi Karni tersebut, terungkap pada tanggal 31 Desember 2010, ketika ada seseorang yang menjenguk dan mengetahui Karni ternyata bukan Kasiyem.

Bila dengan ongkos semurah itu Kasiyem bisa memperoleh sembah sujud hukum, bagaimana hukum tidak bertekuk lutut kepada mereka yang beruang banyak dan juga berkuasa?

——————————

Itulah gambaran mutakhir tentang negeri kepulauan ini di awal Tahun 2011. Kesimpulan tentang semua itu saya serahkan kepada sidang hadirin pembaca untuk menariknya.

Semoga bermanfaat.

Salam,

Wahyu

Posted in Ah... Indonesia ku, Hukum, HUMANIORA, Korupsi, Kualitas Bangsa | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , | Leave a Comment »

Membangun Setengah Hati (Kegagalan di Merauke, Papua)

Posted by wahyuancol pada November10, 2010

Kelambatan pembangunan di berbagai daerah di Indonesia sebenarnya bukan karena tidak dilakukannya pembangunan di daerah. Pembangunan dilakukan; tetapi mungkin dilakukan dengan setengah hati. Berbagai aspek yang berkaitan dengan kesuksesan atau kegagalan pembangunan itu nampaknya belum dikaji dengan baik. Atau bila hal itu telah dilakukan, tetapi pelaksanaannya di lapangan sering tidak sesuai antara apa yang digariskan dengan apa yang dilaksanakan. Atau, ada pihak-pihak yang tanpa sadar telah melakukan tindakan yang kontra produktif terhadap kegiatan pembangunan, tetapi didiamkan saja oleh pemerintah.

Sebagai gambaran tentang masalah pembangunan yang gagal itu, mari kita simak kisah dari Merauke berikut ini yang saya tulis ulang dari berita Harian Kompas tanggal 18 Oktober 2010, halaman 22.

——————————————-

Gagal karena Monopoli

Wahidin (45) adalah transmigran asal Cilacap, Jawa Tengah yang tinggal di Distrik Sota, Merauke. Dia mengatakan bahwa hampir separuh dari 320 keluarga trasnsmigran di distrik tersebutmeninggalkan lahan pertanian sejak awal tahun 2000. Hal ini terjadi karena biaya operasional selalu lebih besar daripada hasil panen.

Mengapa bisa demikian?

Hal ini karena monopoli. Monopoli oleh gabungan kelompok tani setempat menyebabkan tingginya harga bahan-bahan pendukung lahan pertanian, seperti pupuk dan pestisida.

Gagal karena Janji Kosong

Pilihan meninggalkan lahan pertanian juga terjadi di Kampung Serapu, Distrik Semangga,  Merauke. Puluhan hektar sawah berubah menjadi savana karena ditinggal oleh petani.

Mengapa bisa demikian?

Menurut Eddy Gebze (30), warga Kampung Serapu, petani meninggalkan lahan sejak tahun lalu karena tidak tersedia irigasi. Selama ini, warga bergantung pada air dari rawa untuk mengairi sawah. Namun hal itu hanya dapat dilakukan bila debit air rawa naik di musim hujan. Bila musim kemarau, pengaliran air rawa hanya dapat dilakukan dengan bantuan pompa. Hingga kini, Pemerintah tak kunjung merealisasi janji pemasangan pompa.

Gagal karena Mengabaikan Kondisi Alam

Menurut Kansius Ukurop (50), puluhan hektar sawah di Kampung Kemangi, Distrik Tanah Miring gagal panen karena tergenang air payau. Sawah pun ditinggalkan dan berubah menjadi savana.

Mengapa bisa demikian?

Kondisi itu disebabkan karena pembangunan saluran irigasi yang tidak memperhatikan naiknya muka air laut saat pasang dari pantai di sekitar lokasi. Karena keadaan tersebut, kebanyakan warga lokal kembali berburu demi memenuhi kebutuhan hidup.

———————-

Demikian kisah kegagalan dari Merauke. Semoga kita bermanfaat.

Salam,

WBS

Posted in Ah... Indonesia ku, HUMANIORA, Kualitas Bangsa | Dengan kaitkata: , , , , , | Leave a Comment »

Kisah Dari Lereng Merapi 2 (Bunuh Diri: Haruskah ini terjadi?)

Posted by wahyuancol pada November8, 2010

Kisah ini terjadi di lokasi pengungsian pada hari Minggu 7 Nopember 2010 ketika Gunung Merapi sedang aktif bererupsi.

Kisah ini tentang rakyat kecil yang kehilangan harapan akan masa depan hidupnya setelah sapi-sapi miliknya mati semuanya terkena awan panas dari Gunung Merapi.

Di tengah-tengah kondisi yang kalau balau itu Pemerintah mengeluarkan janji akan membeli semua sapi milik masyarakat lereng Merapi yang mati kena awan panas. Tetapi, apakah berita itu dapat dipercaya? Bagi sebagian masyarakat yang mengungsi itu mungkin kabar itu meragukan.

Oleh karena itu, mungkin, peristiwa tragis di bawah ini terjadi.

Inilah kisah itu

———————————-

Seorang pengungsi bencana letusan Gunung Merapi di Stadion Maguwoharjo, Sokiran (46) warga Dusun Manggong, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Minggu (7/11/2010) nekat bunuh diri dengan menceburkan diri ke selokan yang ada di sisi barat stadion.

“Korban ini kemungkinan stres sejak mengungsi di Stadion Maguwoharjo,” kata Kepala Desa Kepuharjo, Cangkringan Heri Suprapto. Menurut dia, korban diduga stres karena teringat akan ternaknya yang mati semua akibat terjangan lahar panas Gunung Merapi pada Jumat lalu. “Korban sudah menunjukkan gejala stres sejak tiga hari lalu, sesaat setelah tiba di Stadion Maguwoharjo, korban selalu bilang ingin pulang dan juga ingin mati saja,” katanya.

Ia mengatakan, dirinya bersama dengan para pengungsi dari Kepuharjo sudah berusaha menenangkannya dan membujukknya agar tidak melakukan perbuatan nekat tersebut.
“Namun tadi rupanya kami sedikit lengah, saat korban pamit untuk mandi ternyata dimanfaatkan untuk bunuh diri dengan mencebur di dalam selokan yang dan langsung terseret hingga puluhan meter dan tewas,” katanya.

Heri mengatakan, selama ini Sokiran mengandalkan hidup keluarganya dari ternak sapi perah miliknya.”Korban kehilangan empat sapi yang mati akibat terkena lahar panas, kami sudah berupaya membujuk dan memberitahu bahwa sapi-sapinya yang mati akan diganti pemerintah, namun rupanyan ia tidak mudah untuk menerima musibah ini dan memilih mengambil jalan pintas,” katanya.

Ia mengatakan, atas kejadian tersebut dirinya saat ini terus berupaya mendampingi para pengungsi dari Desa Kepuharjo agar mereka tidak stres dan bisa menerima musibah ini.
“Kami terus memberikan keyakinan kepada warga yang mengungsi bahwa ini adalah ujian dari Tuhan dan semua harus tabah dalam menghadapinya, kami tidak ingin warga terlalu larut dalam keputusasaan,” katanya.

Sumber:

http://regional.kompas.com/read/2010/11/08/04493431/Astaga..Satu.Pengungsi.Nekad.Bunuh.Diri-5

————————–

Setelah membaca cerita di atas mungkin pantas bila kita bertanya:

“Apakah sudah sedemikian rendah tingkat kepercayaan sebagian masyarakat kepada Pemerintah?” atau,

“Apakah keputus asaan itu terjadi karena janji itu terlalu terlambat realisasinya sehingga menimbulkan keraguan yang menyebabkan putus asa?”

Semoga bermanfaat.

Salam,

WBS

 

 

Posted in Ah... Indonesia ku, FILSAFAT, HUMANIORA, Kualitas Bangsa, Manusia | Dengan kaitkata: , , , , , , | Leave a Comment »

Kisah Dari Lereng Merapi 1 (“Sayang Nyawa atau Sapi?”, “Tapi….!?, Apakah Pemerintah Dapat Dipercaya?”)

Posted by wahyuancol pada November6, 2010

Kisah ini terjadi di lereng Gunung Merapi yang sedang aktif bererupsi pada Sabtu 6 Nopember 2010.

Kisah ini tentang rakyat kecil yang berjuang mempertahankan masa depannya di tengah-tengah kacau balaunya kehidupan masyarakat karena erupsi lutusan Gunung Merapi.

Di tengah-tengah kondisi yang kalau balau itu Pemerintah mengeluarkan janji akan membeli semua sapi milik masyarakat lereng Merapi yang mati kena awan panas. Namun, sebagian masyarakat pengungsi itu janji tersebut diragukan.

Oleh karena itulah ia berjuang melawan panasnya debu Merapi demi masa depannya yang masih diharapkannya dari dua ekor sapinya yang telah dua hari tidak diberinya makan karena ditinggal mengungsi menghindar dari sergapan awan panas.

Inilah kisah itu.

—————————-

Demi memberi makan ternaknya yang ditinggal di rumah, beberapa warga Merapi rela mengadu nyawa dengan kembali ke daerah rawan. Padahal tindakan tersebut sangat berbahaya, mengingat beberapa desa di lereng Merapi masih diselimuti awan panas dan pasir membara yang telah merenggut puluhan jiwa.

Namun ada saja warga yang masih nekad dengan menerobos barisan polisi dan relawan yang memblokade jalan Kaliurang KM 24, dekat Universitas Islam Indonesia (UII).

Lepas barikade pertama, 50 meter kemudian laju motor yang dikendarai Suparman dengan setumpuk rumput di jok belakangnya kembali dihentikan dua orang anggota polisi lalu lintas. Kali ini, Suparman (26) tidak bisa lagi lolos.

Jenengan sayang nyowo opo sayang sapi. Nek sayang nyowo balik lagi aja, sapi mati bisa diganti, nek nyowo sopo sing ganti (Anda sayang nyawa atau sayang sapi. Kalau sayang nyowo silahkan balik, sapi mati bisa diganti, kalau nyawa siapa yang mau ganti),” tegur polisi lalu lintas lengkap dengan jaket skotlight dan masker penutup kepada Suparman di Jl Kaliurang KM 14, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (6/11/2010).

Suparman berencana pulang ke desanya untuk memberi makan dua ekor sapinya. Lelaki bertubuh kecil ini merupakan warga dusun Watuadek, Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman.

Sapi kulo rong dino rung mangan Mas, mesakne Mas (Sapi saya dua hari belum makan, kasihan Mas),” ujar Suparman yang mencoba mengadukan nasibnya kepada beberapa wartawan dan anggota SAR yang berada di lokasi.

Anggota SAR yang ada di lokasi pun berusaha menjelaskan kondisi dusun yang akan didatangi Suparman. Wukirsari, tempat Suparman tinggal masih dalam kondisi berbahaya.

“Masih bahaya Mas, jangan ke sana dulu. Yang dibilang pak polisi betul, saya baru dari sana dan masih panas banget,” ujar salah seorang anggota SAR kepada Suparman.

Kecuali kulitmu baja, kados Gatotkoco nopo Superman, monggo. Nek jenengan cuma wong biasa mending ngandap mawon malih (Kecuali kulitmu baja seperti Gatotkaca atau Superman silahkan. Kalau cuma manusia biasa mending turun ke bawah lagi),” tambahnya.

Suparman sendiri mengaku sudah tidak tahu malu saat dirinya terpaksa meminjam sebilah arit untuk membabat rumput yang banyak tersedia di sekitar Stadion Maguwoharjo tempat keluarga mengungsi. Rumput dan ilalang yang kini menyesaki motor seyogyanya akan diberikan kepada kepada dua ekor sapi peliharaannya yang ditinggalkan di rumah.

Duh wis isin, malah ra isoh munggah. Trus nggo opo iki (Sudah malu tapi ternyata tidak bisa naik. Buat apa rumput ini),” keluh Parman.

Sebenarnya Parman sudah mendengar adanya ganti rugi yang diberikan Pemkab Sleman untuk ternak yang mati akibat meletusnya Merapi. Tapi Parman sendiri tak yakin bila hal tersebut akan ditepati, terpaksa ia pun mengadu nyawa dengan memberikan pakan untuk dua ekor sapinya.

Seringe ndobos mas, nek ndobos kan kulo sing rugi (Seringnya bohong mas, kalau bohong kan saya yang rugi),” ujarnya polos.

Namun Parman pun segera diberi jaminan oleh beberapa warga sekitar yang merasa iba dengan bapak satu putra ini. “Nek ndobos, iki akeh wartawan, lapor no. Engko ditulis, diberitakne gede-gede, pasti diganti sapimu (Kalau bohong, disini banyak wartawan, laporkan. Biar diberitakan besar-besaran, pasti diganti sapimu),” ujar warga sekitar
yang mencoba menasehati Parman.

Banyak orang yang memberi nasihat, membuat Parman luluh. Setumpuk rumput yang telah diikat itupun akhirnya terpaksa ia bawa kembali ke tempat pengungsian.

Nggih kulo mandap mawon, monggo sedoyonipun (Iya saya turun saja. Permisi semuanya),” ujarnya sambil meninggalkan lokasi menuju pengungsiannya di Stadion Maguwoharjo.(her/nvc)

Sumber:

http://www.detiknews.com/read/2010/11/06/134224/1488191/10/jenengan-sayang-nyawa-apa-sayang-sapi

—————————–

Berikut ini adalah komentar pembaca tentang berita itu

“Ini bukan masalah demi nyawa rela berkorban untuk sapinya, tapi dibenak orang desa yg lugu seperti ini sudah tertanam kalau pemerintah itu biasanya sering mengumbar janji manis, baik saat pilkada maupun pemilu. jadi rakyat kecil seperti Suparman ini punya pemikiran yang sederhana saja sudah susah payah mencari rejeki terus hilang begitu saja.”

“Andai para pemimpin kita amanah, tak mungkin bpk ini akan memberi makan sapinya krn pasti percaya akan penggantian hewan.”

“Buat yg komennya jahat, pada ngatain pak suparman, kalian semua belum tau rasanya jadi orang miskin apa? kenapa c ga bisa melihat masalah dari banyak sisi? kalian berkata seolah-olah kalian tau segalanya, tapi kalian ga tau apa2. kalian semua ga punya empati! dah mati rasa! cobalah kalian jadi dia, hidup sebagai petani kecil di lereng merapi, baru tau rasa semua!”

“Jangan mencela , jangan menyalahkan. Coba tempatkan diri anda seperti mereka. Hidup mereka sudah susah, mungkin dalam pikirannya cuman sapinya sebagai gantungan hidupnya.”

“Kalo saya jd suparman…mgkn melakukan hal yg sama…krn ndak percaya sama janji pemerintah…misalnya diganti…paling diganti seharga ayam…..”

“Sampeyan Suparman tapi ati sampeyan Superman, pak pejabat terhormat dimirengke bpk meniko, bapak Suparman ngendhiko jujur opo anane.”

“Rakyat kecil aja udah tau klo pemerintah gag bisa dipercaya, jadi lebih baek mengadu nyawa untuk nyelametin hewannya, drpd nunggu janji pemrintah yang gag jelas.”

“Bagi rakyat miskin, sapi, kerbau, kambing mungkin satu-satunya harta paling berharga yang mereka miliki dan merupakan penyambung nyawa mereka sebagai satu diantara sedikit mata pencaharian yang ada selain menjadi buruh tani atau pekerjaan kasar lainnya, bahkan ada yang rela tidur satu ruangan bersama sapi karena begitu berharganya ternak itu bagi mereka. Wajar saja kalau mereka berjuang mati-matian demi ternak mereka. Semoga Detik menjadi salah satu media yang paling pertama menyuarakan suara hati mereka jika ternyata janji pemerintah untuk memberi ganti rugi atas ternak yang ada ternyata hanya menjadi omong kosong belaka.”

“Ini bukti bahwa rakyat sdh hilang kepercayaan pd aparat pemerintah, dia tdk percaya bahwa instruksi presiden akan dijalankan dgn baik.”

“Bukti bahwa rakyat ga percaya ama pemerintah… kasian rakyat kecil… mereka sering dibohongi…”

————–

Semoga kisah ini bermanfaat.

Salam,

WBS

Posted in Ah... Indonesia ku, FILSAFAT, HUMANIORA, Kualitas Bangsa, Manusia | Dengan kaitkata: , , , , , , | Leave a Comment »

Ironi Negara Kepulauan Indonesia

Posted by wahyuancol pada November3, 2010

Indonesia adalah negara kepulauan. Perjuangan panjang di masa lalu telah membuahkan pengakuan itu dari dunia internasional. Negara kepulauan artinya negara yang terdiri dari banyak pulau, dan laut menjadi bagian yang dominan atas daratan. Logikanya, laut bukanlah hal yang asing bagi penghuni negara kepulauan. Laut bukan masalah, dan laut menjadi sumber kehidupan. Namun demikian, apa yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia tidak mencerminkan sama sekali bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Mari kita menilai diri kita sendiri dengan menyimak kutipan tulisan dari DetikNews.Com berikut ini.

———————————-

Puluhan relawan hanya bisa termangu menatap hujan di Pulau Sikakap, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Beberapa mengusir suntuk dengan menyeduh kopi ditenda-tenda darurat. Beberapa lainnya mengobrol atau sekedar bertukar informasi tentang kondisi terakhir.

Kerutan-kerautan wajah mereka terlihat gelisah. “Kami ingin ke lokasi bencana, tapi melihat ombak setinggi rumah, siapa tidak takut,” kata Ismail, (32), relawan asal Palembang kepada detikcom beberapa waktu lulu.

Pertimbangan ini terbukti oleh alam. Kapal boat dengan ukuran cukup besar yang ditumpangi relawan dari PLN terbalik ditelan ombak. Pun begitu, 24 relawan yang juga berisi wartawan antv sempat hilang kontak akibat terseret ombak hingga terdampar di pantai yang belum terjamah. Kondisi di udara pun sempat merepotkan helikopter dengan kondisi angin yang tak bersahabat selama 3 hari terakhir.

“Ya begitulah kondisinya,” komentar Staf Khusus Presiden, Heru Lelono.

Sebagai negara kepulauan, kenyataan di atas mungkin sangatlah miris. Sebagai kabupaten baru, tak nampak satupun kapal ukuran besar milik Pemkab yang mendistribusikan bantuan ke titik lokasi bencana. Malah, Kapal Polair Antasena yang datang ratusan mil dari Jakarta yang berada di garda depan pendistribusian bantuan.

“Boat mereka hanya sekali mengantarkan ke darat, setelah itu kabur, malah kami yang bolak-balik dari pagi hingga petang,” jelas komandan kapal, Kompol Herry Noor .

Pada sekup regional, konsep pembangunan yang pincang ini paling dekat dilihat dari konsep pembangunan Jakarta. Berlogokan ombak, namun tidak ada pembangunan yang berpihak kepada keberlangsungan laut Jakarta. Hutan bakau dibabat habis, pantai diuruk, nelayan tradisional di usir, tambak diganti dengan menara apartemen, pantai lumpur di ganti pantai pasir, serta jalan amblas dibilang kesalahan konstruksi semata.

Secara nasional, negara bahari tinggal slogan. Lagu nenek moyangku seorang pelaut menjadi guyonan. Dengan luas laut lebih dari 2/3 luas daratan tidak diikuti pembangunan berkonsep bahari.

Penambahan kapal TNI hanya cukup jadi isu manis di DPR. Kapal laut ukuran besar hanya hitungan jari. Tidak sedikit pembangunan dermaga baru malah berakhir di KPK/ kejaksaan. Penahanan 3 anggota DKP oleh Malaysia malah dirayakan dengan 20 menit pidato pujian kepada Malaysia. Pertumbuhan ekonomi berarti meningkatnya lapangan pekerjaan di sektor pertanian. Nelayan selalu di strata sosial paling rendah. Bahkan, tsunami hanya sebagai resiko orang yang tinggal di pulau.

Sehingga jangan heran jika ada bencana, orang lebih suka menyalahkan alam.  Padahal, Mentawai sangat terkenal di mancanegara karena keindahan pantai dan ombaknya yang menyihir para peselancar internasional.

Sumber:

http://www.detiknews.com/read/2010/11/03/025012/1483406/10/tsunami-mentawai-dan-hilangnya-mindset-negara-kepulauan?991102605

Akses: 3 Nopember 2010

Salam,

WBS

 

Posted in Ah... Indonesia ku, HUMANIORA, Kualitas Bangsa | Dengan kaitkata: , , | 2 Comments »