Namanya Gayus Halomoan P. Tambunan. Umurnya 30 tahun. Ia hanya seorang Pegawai Negeri Golongan III-a di Direktorat Jenderal Pajak. Tugasnya hanya menjadi penelaah keberatan pajak perorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak. Di “Negara Para Koruptor” ini, pekerjaan itu membuat Gayus menjadi “sakti”. Ia menjadi salah satu pegawai negeri yang terkaya di negeri ini dengan tabungan Rp 25 milyar.
Jamaknya, gaji Pegawai Negeri Sipil golongan IIIA di Direktorat Pajak dengan masa jabatan 0 sampai 10 tahun adalah antara Rp 1.655.800 sampai Rp 1.869.300 per bulan. Kalaupun ada tambahan maka itu berupa tunjangan lain. Dengan memiliki tabungan sebesarRp 25 milyar tentu mengundang tanda tanya. Dari mana asal uang itu?
Kondisi Gayus itu mencuat ke permukaan ketika namanya disebut oleh mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal, Susno Duadji. Sejak itulah Drama Penjungkirbalikan Akal Sehat terjadi di negeri ini.
Apa yang terungkap dari balik drama itu tentang Negeri Para Koruptor ini? Simaklah editorial dari salah satu surat kabar di bawah ini.
—————————-
TIDAK ada lagi kata yang tepat untuk mengungkapkan kejengkelan kita terhadap kelakuan Gayus Tambunan. Dalam status ditahan, Gayus bebas berkeliaran di luar. Tidak cuma pelesiran ke Bali, tapi bisa bolak-balik ke luar negeri menggunakan nama palsu Sony Laksono.
Polisi disogok, hakim disumbat, jaksa disuap, dan terakhir keimigrasian dilumpuhkan.
Kehebatan Gayus melumpuhkan semua institusi penegak hukum di Tanah Air lahir dari kehadiran dia dalam lingkungan mafia pajak. Dengan uang berlimpah dari perannya ‘membantu’ urusan pajak korporasi, dia menjadi raja kecil. Bila si raja teri mampu memorak-porandakan benteng penegak hukum, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kemampuan raja-raja kakap.
Kemampuan raja-raja mafioso menyumbat mulut aparatur yang rakus dan mati rasa dengan uang, itulah yang menyebabkan para mafioso menciptakan kadernya di lingkungan birokrasi. Itulah yang menyebabkan krisis moralitas. Orang baik dan jujur dianggap berbahaya dan harus disingkirkan dengan berbagai cara.
Kalau benteng-benteng keadilan dan kebenaran sudah menjadi organisasi yang bertekuk lutut di hadapan mafioso, matilah penegakan hukum. Sirene bahaya seharusnya dibunyikan dengan lengking dan bertalu-talu.
Kasus Gayus yang amat memalukan haruslah pula dijadikan bukti untuk mengakui bahwa kejahatan, korupsi, dan kebohongan sudah melekat dalam perilaku birokrasi, khususnya lembaga penegak hukum. Argumen bahwa yang jahat itu orang bukan lembaga, semakin hari semakin terbantahkan.
Maaf kepada hakim, polisi, dan jaksa yang baik dan benar yang konon masih ada dan banyak. Tetapi kehebatan dan kejujuran kalian tidak cukup kuat untuk menjadi mainstream antikorupsi.
Kejengkelan terhadap tindakan Gayus hanyalah kejengkelan masyarakat madani. Yang menganggap negara ini dalam bahaya karena krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum hanya hidup dan bergejolak di luar lembaga pemerintahan.
Tidak ada sense of crisis yang meledak di kalangan birokrasi dan para pemangku kekuasaan melihat sepak terjang Gayus. Tidak seperti erupsi Merapi yang menyebabkan para pemimpin berebut kesempatan meneriakkan tanda bahaya. Tidak ada rapat kabinet darurat, misalnya, yang digelar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi kasus Gayus.
Presiden masih berbahasa standar. “Usut tuntas kasus Gayus.” Perintah yang terlalu datar untuk sebuah kasus yang teramat gawat. Kepolisian masih berkata standar juga. “Kami mengumpulkan fakta hukum, yang berkembang tidak secepat dan searah dengan opini dan nurani publik.”
Kendati belum cukup mengobati kerisauan publik, apa yang dilakukan Jaksa Agung Basrief Arif mencopot jaksa di Bojonegoro karena meloloskan joki untuk napi Kasiem memberi contoh tentang sense of crisis.
Kasus Gayus tidak boleh dipagar hanya pada soal jalan-jalan ke Bali dan luar negeri. Yang jauh lebih berbahaya bagi negara adalah kasus mafia pajak yang terbukti melumpuhkan seluruh harkat dan martabat Republik.
Publik jengkel dan mulai capek. Di tengah kehabisan kata-kata mengekspresikan kejengkelan, seorang seniman berteriak lantang tentang negeri para bedebah. Kita semua terbelalak!
—————————-
Melengkapi semua itu adalah kisah penukaran tahanan dari Bojonegoro.
Di Bojonegoro, Kasiyem yang harus menjalani penjara tujuh bulan melumpuhkan integritas penegak hukum dengan amat murah, Rp32 juta. Dengan uang sebesar itu Kasiyem bisa meminta orang lain untuk menggantikannya masuk bui.
Inilah kisah Kasiyem yang saya sarikan dari Kantor Berita Antara.
Kasiyem (55) asal Desa Kalianyar, Kecamatan Kapas, Bojonegoro, Jawa Timur, adalah pedagang beras yang sering mengirimkan beras ke Bali.
Ia tertarik berdagang pupuk, karena berharap keuntungan lebih besar dibanding jika hanya menjual beras.
Dari berita di media massa, menurut dia, Bupati Bojonegoro Suyoto pernah menyatakan, pupuk luar boleh masuk ke Bojonegoro dan yang dilarang adalah membawa keluar pupuk dari Bojonegoro.
Saat terjadi kelangkaan pupuk, ia memanfaatkan kesempatan meskipun mengaku tidak memiliki Delivery Order (DO).
Dagang pupuk itu pun menyeretnya ke pengadilan pidana hingga ke tingkat kasasi.
Menghadapi keputusan MA, Kasiyem mengaku, tidak terima dan takut kalau harus menjalani hukuman penjara. Dia bilang pedagang pupuk seperti dirinya cukup banyak di Bojonegoro tapi hanya dia yang masuk penjara.
Lalu dicarilah seseorang yang bisa membantunya. Kasiyem akhirnya bertemulah dengan seorang pengacara bernama Hasnomo.
Kasiyem mengungkap, dalam perjanjian itu, Hasnomo sanggup menolong dirinya agar tidak masuk penjara dengan memberi imbalan uang Rp22 juta.”Bagaimana caranya saya tidak tahu,” ujarnya.
Diri mengaku menandatangani berita acara eksekusi di Kantor Kejaksaan Negeri Bojonegoro, tepatnya pada tanggal 27 Desember 2010.
Hanya saja, ketika di depan lapas, dirinya yang semobil dengan staf Kejari bojonegoro, Widodo Priyono, tidak masuk ke lapas. Sebab, Hasnomo sudah membawa joki napi Karni (51), warga Desa Leran, Kecamatan Kalitidu, yang memperoleh imbalan uang Rp10 juta dari Hasnomo.
Hasnomo menemukan Karni lewat seorang perantara yang bernama Angga.”Saya tahu itu keliru,” ucapnya.
Karnipun masuk sel di lapas, setelah menjalani registrasi, dengan cap jempol, buan tanda tangan.
Masuknya joki napi Karni tersebut, terungkap pada tanggal 31 Desember 2010, ketika ada seseorang yang menjenguk dan mengetahui Karni ternyata bukan Kasiyem.
Bila dengan ongkos semurah itu Kasiyem bisa memperoleh sembah sujud hukum, bagaimana hukum tidak bertekuk lutut kepada mereka yang beruang banyak dan juga berkuasa?
——————————
Itulah gambaran mutakhir tentang negeri kepulauan ini di awal Tahun 2011. Kesimpulan tentang semua itu saya serahkan kepada sidang hadirin pembaca untuk menariknya.
Semoga bermanfaat.
Salam,
Wahyu